Skip to main content

Keyakinan pada Tes Cepat (Quick Test) Menyebabkan Epidemi Yang Tidak Pernah Terjadi

Hari-hari terakhir, kasus COVID19 di Indonesia semakin bertambah. Banyak pakar berkata untuk memperbanyak dengan tracing dengan melakukan tes. Masalahnya tes seperti apa yang harus dilakukan?

Artikel ini sudah disinggung dalam tulisan sebelumnya "Tes COVID19 PCR Secara Ilmiah Tidak Berarti" yang dipublikasikan di OffGuardian pertama tanggal 27 Juni 2020.

Tulisan ini terjemahan dari artikel yang dimuat di The New York Times tanggal 22 Januari 2007, hampir 15 tahun yang lalu sebelum pandemi COVID19 muncul. Pada artikel ini dipaparkan bagaimana tes cepat PCR salah memprediksi adanya epidemi di Dartmouth hingga ribuan orang dirawat tidak dengan semestinya.

Banyak artikel mengenai kasus yang terjadi Dartmouth, Anda bisa mencari di link ini.

Ketika semakin banyak negara berdamai dengan COVID19, mungkinkah yang terjadi adalah pseudo-epidemics?


Dr. Brooke Herndon, seorang internis di Dartmouth-Hitchcock Medical Center, tidak bisa berhenti batuk. Sudah dua minggu mulai pertengahan April tahun lalu, dia batuk, sepertinya tanpa henti, diikuti seminggu lagi ketika dia batuk secara sporadis, yang mengganggu semua orang yang bekerja dengannya.

Tak lama kemudian, Dr. Kathryn Kirkland, seorang spesialis penyakit menular di Dartmouth, memiliki pemikiran yang mengerikan: Mungkinkah dia melihat awal dari epidemi batuk rejan (whooping cough)? Pada akhir April, petugas kesehatan lain di rumah sakit itu batuk. Batuk yang parah dan tak tertahankan adalah ciri khas batuk rejan. Dan jika itu batuk rejan, wabah harus segera ditanggulangi karena penyakit itu bisa mematikan bagi bayi di rumah sakit dan bisa menyebabkan pneumonia pada pasien dewasa yang lemah dan rentan di sana.

Itu adalah awal dari masa aneh di pusat medis: sebuah kisah epidemi yang tidak pernah terjadi.

Selama berbulan-bulan, hampir semua orang yang terlibat mengira pusat medis telah mengalami wabah batuk rejan yang besar, dengan akibat luas. Hampir 1.000 pekerja perawatan kesehatan di rumah sakit di Lebanon, N.H., diberikan tes pendahuluan (preliminary test) dan cuti dari pekerjaan sampai hasilnya keluar. 142 orang, termasuk Dr. Herndon, diberitahu bahwa mereka tampaknya mengidap penyakit tersebut. Dan ribuan orang diberi antibiotik dan vaksin untuk perlindungan. Tempat tidur rumah sakit penuh, termasuk beberapa perawatan intensif.

Kemudian, sekitar delapan bulan kemudian, petugas kesehatan tercengang menerima pesan email dari administrasi rumah sakit yang memberi tahu mereka bahwa semuanya adalah alarm palsu.

Tidak ada satu pun kasus batuk rejan yang terkonfirmasi ketika dilakukan tes definitif. Suatu tes yang dilakukan dengan cara menumbuhkan bakteri, Bordetella pertussis, di laboratorium. Sebaliknya, petugas kesehatan mungkin menderita penyakit pernapasan biasa seperti flu biasa.

Sekarang, ketika mereka melihat kembali masa tersebut, ahli epidemiologi dan spesialis penyakit menular mengatakan masalahnya adalah bahwa mereka terlalu percaya pada tes molekuler yang cepat dan sangat sensitif yang membuat mereka tersesat.

Para ahli penyakit menular mengatakan tes semacam itu semakin sering digunakan dan mungkin satu-satunya cara untuk mendapatkan jawaban cepat dalam mendiagnosis penyakit seperti batuk rejan, Legionnaire, flu burung, TBC dan SARS, dan dipakai untuk memutuskan apakah epidemi sedang berlangsung.

"Tidak ada data nasional tentang epidemi semu (pseudo-epidemics) yang disebabkan oleh ketergantungan yang berlebihan pada tes molekuler semacam itu," kata Dr. Trish M. Perl, ahli epidemiologi di Johns Hopkins dan mantan presiden Society of Health Care Epidemiologists of America. "Tapi, epidemi semu selalu terjadi. Kasus Dartmouth mungkin salah satu yang terbesar, tapi itu bukan pengecualian," katanya.

Ada ketakutan batuk rejan serupa di Rumah Sakit Anak di Boston musim gugur lalu yang melibatkan 36 orang dewasa dan 2 anak-anak. Namun, tes definitif tidak menemukan pertusis.

"Ini masalah. Kami tahu itu masalah. Dugaan saya adalah apa yang terjadi di Dartmouth akan menjadi lebih umum," kata Dr. Perl.

Banyak tes molekuler baru yang cepat tetapi menuntut secara teknis. Dan setiap laboratorium dapat melakukannya dengan caranya sendiri. Tes ini, yang disebut "home brews", tidak tersedia secara komersial dan tingkat kesalahannya tidak bisa diperkirakan dengan baik. Tetapi karena sensitivitas mereka bisa membuat hasil positif palsu. Dan ketika ratusan atau ribuan orang diuji, seperti yang terjadi di Dartmouth, hasil positif palsu dapat membuat seolah-olah ada epidemi.

"Dengan tes molekuler baru Anda berada di tanah tak bertuan," kata Dr. Mark Perkins, spesialis penyakit menular dan kepala petugas ilmiah di Foundation for Innovative New Diagnostics, sebuah yayasan nirlaba yang didukung oleh Yayasan Bill and Melinda Gates. "Semua taruhan dibatalkan pada kinerja yang tepat."

Tentu saja, itu mengarah pada pertanyaan mengapa sangat bergantung pada mereka. "Pada waktu normal (face value), jelas mereka seharusnya tidak melakukannya," kata Dr. Perl. "Tapi seringkali ketika jawaban dibutuhkan dan organisme seperti bakteri pertusis rewel dan sulit tumbuh di laboratorium, Anda tidak punya pilihan bagus," katanya.

Menunggu untuk melihat apakah bakteri tumbuh bisa memakan waktu berminggu-minggu, tetapi melakukan tes molekuler cepat juga bisa salah. "Ini hampir seperti Anda mencoba memilih dua kejahatan (evils)," kata Dr. Perl.

Di Dartmouth keputusannya adalah menggunakan tes PCR (Polymerase Chain Raction) atau Reaksi Berantai Polimerase. Sampai saat ini, ini adalah tes molekuler yang terbatas pada laboratorium biologi molekuler.

"Itulah yang terjadi," kata Dr. Kathryn Edwards, spesialis penyakit menular dan profesor pediatri di Vanderbilt University. "Itulah kenyataan di luar sana. Kami mencoba mencari cara untuk menggunakan metode yang telah menjadi lingkup ilmuwan."

Kisah batuk rejan Dartmouth menunjukkan apa yang bisa terjadi.

Mengatakan masa itu disruptive adalah pernyataan yang meremehkan, kata Dr. Elizabeth Talbot, wakil ahli epidemiologi negara bagian untuk Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan New Hampshire.

"Anda tidak bisa membayangkannya," kata Dr. Talbot. "Pada saat itu, saya punya perasaan bahwa ini akan memberi kami bayangan apa yang akan terjadi selama epidemi flu pandemi."

Namun, para ahli epidemiologi mengatakan, salah satu aspek yang paling meresahkan dari epidemi semu adalah bahwa semua keputusan tampak begitu masuk akal pada saat itu.

Dr. Katrina Kretsinger, ahli epidemiologi medis di Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit federal, yang menangani kasus ini bersama rekannya Dr. Manisha Patel, tidak menyalahkan dokter Dartmouth.

"Masalahnya bukan karena mereka bereaksi berlebihan atau melakukan sesuatu yang tidak pantas sama sekali," kata Dr. Kretsinger. Sebaliknya, seringkali tidak ada cara untuk memutuskan sejak dini apakah suatu epidemi sedang berlangsung.

Sebelum tahun 1940-an ketika vaksin pertusis untuk anak-anak diperkenalkan, batuk rejan adalah penyebab utama kematian pada anak-anak. Vaksin menyebabkan penurunan 80 persen kejadian penyakit, tetapi tidak sepenuhnya menghilangkannya. Itu karena efektivitas vaksin berkurang setelah sekitar satu dekade. Dan meskipun sekarang ada vaksin baru untuk remaja dan orang dewasa, vaksin itu baru mulai digunakan. "Batuk rejan masih menjadi perhatian," kata Dr Kretsinger. 

Penyakit ini mendapatkan namanya dari fitur yang paling menonjol, yaitu pasien mungkin batuk dan batuk dan batuk sampai mereka harus terengah-engah, membuat suara seperti teriakan. "Batuk bisa berlangsung begitu lama sehingga salah satu nama umum untuk batuk rejan adalah batuk 100 hari," kata Dr. Talbot.

Baik batuk lama (long) dan batuk keras (hard) atau bahkan batuk rejan tidak khas untuk infeksi pertusis. Banyak orang dengan batuk rejan memiliki gejala yang mirip dengan flu biasa: pilek atau batuk biasa.

"Hampir segala sesuatu tentang presentasi klinis pertusis, terutama pertusis awal, tidak terlalu spesifik," kata Dr. Kirkland.

Itulah masalah pertama dalam memutuskan apakah ada epidemi di Dartmouth.

"Yang kedua adalah dengan PCR, tes cepat untuk mendiagnosis penyakit," kata Dr. Kretsinger.

"Dengan pertusis, mungkin ada 100 protokol dan metode berbeda PCR yang digunakan di seluruh negeri dan tidak jelas berapa sering dari hasilnya yang akurat," katanya. "Kami telah mengalami sejumlah wabah di mana kami percaya bahwa meskipun ada hasil positif PCR, penyakitnya bukan pertusis," tambah Dr. Kretsinger.

Di Dartmouth, ketika kasus suspek pertusis pertama muncul dan tes PCR menunjukkan pertusis, dokter percaya. Hasilnya tampak benar-benar konsisten dengan gejala pasien.

"Begitulah semuanya dimulai," kata Dr. Kirkland. Kemudian para dokter memutuskan untuk menguji orang yang tidak mengalami batuk parah.

"Karena kami memiliki kasus yang kami pikir pertusis dan karena kami memiliki pasien yang rentan di rumah sakit, kami menurunkan ambang batas kami," katanya. Siapa pun yang batuk akan mendapat tes PCR. Begitu juga dengan siapa pun yang pilek dan bekerja dengan pasien berisiko tinggi seperti bayi.

"Begitulah cara kami mendapatkan 134 kasus tersangka," kata Dr. Kirkland. "Dan itu adalah mengapa 1.445 petugas kesehatan akhirnya minum antibiotik dan 4.524 petugas kesehatan di rumah sakit, atau 72 persen dari semua petugas kesehatan di sana, diimunisasi terhadap batuk rejan dalam hitungan hari," lanjutnya. 

"Jika kita berhenti di sana, saya pikir kita semua akan setuju bahwa kita telah mengalami wabah pertusis dan bahwa kita telah mengendalikannya," kata Dr. Kirkland.

Tetapi ahli epidemiologi di rumah sakit dan bekerja untuk Negara Bagian New Hampshire dan Vermont memutuskan untuk mengambil langkah ekstra untuk memastikan bahwa apa yang mereka lihat benar-benar pertusis.

Para dokter Dartmouth mengirimkan sampel dari 27 pasien yang mereka duga menderita pertusis ke departemen kesehatan negara bagian dan Pusat Pengendalian Penyakit. Di sana, para ilmuwan mencoba menumbuhkan bakteri, sebuah proses yang bisa memakan waktu berminggu-minggu. Akhirnya, mereka mendapat jawaban bahwa tidak ada pertusis di salah satu sampel.

"Kami pikir, yah, itu aneh. Mungkin ini masalah waktu kultur, masalah transportasi. Mengapa kita tidak mencoba tes serologis? Tentu saja, setelah infeksi pertusis, akan timbul antibodi terhadap bakteri tersebut," kata Dr. Kirkland.

Mereka hanya bisa mendapatkan sampel darah yang sesuai dari 39 pasien karena yang lain mendapatkan vaksin yang dengan sendirinya menghasilkan antibodi pertusis. Tetapi ketika Pusat Pengendalian Penyakit menguji 39 sampel tersebut, para ilmuwan melaporkan bahwa hanya satu yang menunjukkan peningkatan kadar antibodi yang mengindikasikan pertusis.

Pusat penyakit juga melakukan tes tambahan, termasuk tes molekuler untuk mencari ciri-ciri bakteri pertusis. Ilmuwannya juga melakukan tambahan tes PCR pada sampel dari 116 dari 134 orang yang diduga menderita batuk rejan. Hanya satu PCR positif, tetapi tes lain tidak menunjukkan bahwa orang tersebut terinfeksi bakteri pertusis. Pusat penyakit juga mewawancarai pasien secara mendalam untuk melihat apa gejala mereka dan bagaimana mereka berkembang.

"Itu berlangsung selama berbulan-bulan," kata Dr. Kirkland. Tetapi pada akhirnya, kesimpulannya jelas, yaitu tidak ada epidemi pertusis.

 "Kami semua agak terkejut dan kami berada dalam situasi yang sangat membuat frustrasi tentang apa yang harus dilakukan ketika wabah berikutnya datang," kata Dr. Kirkland, "

Dr. Cathy A. Petti, seorang spesialis penyakit menular di Universitas Utah, mengatakan bahwa kisah tersebut memiliki satu pelajaran yang jelas.

"Pesan besarnya adalah setiap lab rentan terhadap false positive," kata Dr. Petti. "Tidak ada hasil tes tunggal yang mutlak dan itu bahkan lebih penting dengan hasil tes berdasarkan PCR"

Adapun Dr. Herndon, dia sekarang tahu dia lolos.

"Saya pikir saya mungkin telah menyebabkan epidemi," katanya.

Penulis - Gina Kolata

22 Januari 2007

Sumber : The New York Times

Comments

Popular posts from this blog

Daftar Stasiun Kereta Api - Jalur Utara

Kalo di artikel sebelumnya kita bicara soal jalur selatan Kereta Api di Jawa, kali ini kita akan membahas mengenai jalur utara. Di jalur utara ini melintas kereta Argo Bromo Anggrek. Kereta ini dikenal sebagai raja di antara semua kereta api yang ada di Indonesia. Disebut raja karena ketika kereta api ini lewat, baik dari berlawanan arah atau arah yang sama, semua kereta akan berhenti untuk memberinya kesempatan berjalan terlebih dahulu. Mau tahu lintasan yang dilaluinya? Berikut ini disajikan nama-nama stasiun yang dilewati Kereta Api jika Anda bepergian menggunakan jalur utara (dari Gambir sampai dengan Surabaya Pasar Turi). Stasiun yang dicetak dengan huruf besar termasuk kategori staiun besar. GAMBIR Gondangdia Cikini Manggarai JATINEGARA Cipinang Klender Klender Baru Cakung Rawa Bebek Kranji BEKASI Tambun Cibitung Cikarang Lemah Abang Tanjung Baru Kedung Gedeh KERAWANG Klari Kosambi Dawuan CIKAMPEK Tanjung Rasa Pabuaran Pringkasep Pasir Bungur Cikaum Pagaden Baru Cipunegara Haurg

Daftar Stasiun Kereta Api - Jalur Selatan

Kita mungkin kenal dengan Jakarta, Cirebon, Purwokerto, Yogyakarta, Solo, Madiun, Surabaya. Ya, semua itu adalah nama kota di Jawa. Tapi tahukah Kaliwedi, Butuh, Luwung Gajah, Kemiri, Bagor? Saya yakin tidak semua orang mengenalnya. Jika Anda sering bepergian dengan Kereta Api melewati jalur selatan maka Anda akan menemukan stasiun dengan nama di atas. Dengan mengetahui perkiraan letaknya maka Anda bisa mengetahui posisi Anda sedang berada di dekat kota mana. Berikut ini disajikan nama-nama stasiun yang dilewati Kereta Api jika Anda bepergian melalui jalur selatan (dari Pasar Senen sampai dengan Surabaya Gubeng). Stasiun yang dicetak tebak terbasuk kategori stasiun besar. Tut tut tut ... PASAR SENEN Gangsentiong Kramat Pondok Jati JATINEGARA Cipinang Klender Buaran Klender Baru Cakung Rawabebek Kranji BEKASI Bekasi Timur Tambun Cibitung Telaga Murni Cikarang Lemahabang Kedunggedeh KERAWANG Klari Kosambi Dawuan CIKAMPEK Tanjung Rasa Pabuaran Pringkasap Pasirbungur Cikaum Pagaden B

Nyanyian Rindu Untuk Ibu - Ebiet G Ade

Tubuhmu yang terbungkuk tersandar lemah di kursi kayu tua jemari kurus terkulai menggenggam pena engkau goresan sajak sisa rambutmu perak tinggal sengeggam terbaca pahit kerasnya perjalanan nampakanya ingin kau tumpahkan seluruhnya di dalam puisi Dari alis matamu terbentuk garis guratan kokoh jiwa angin yang deras menghempas tak kau hiraukan batinmu kuat bertahan meskipun raga semakin rapuh tak pernah risau selalu tersimpul senyum sepantasnya kujadikan suri teladan potret perjuangan Oh-oh, ibu, ada yang ingin kutanyakan padamu hasil panen kemarin sesubur panenan yang kita petik bersama Oh-oh, ibu, apa kabar sawah kita sepetak masih bisakah kita tanami atau terendam ditelan zaman Setelah cucumu lahir aku lebih faham betapa beratnya membesarkan dan setia melindungi semua anak-anakmu kita yang selalu hidup sederhana kau sanggup mengasuh hingga kami dewasa dengarkankah nyanyian yang aku peruntukkan buatmu ibu....