Skip to main content

Posts

Showing posts from September, 2017

Kisah Operasi Jakarta di Cile yang mirip G 30 S

Merdeka.com - Hari ini, 47 tahun lalu terjadi peristiwa penting yang menimbulkan perubahan besar di bidang politik, ekonomi dan budaya, yaitu Gerakan 30 September. G30S menurunkan kekuasaan Orde Lama dan menjadi awal datangnya Orde Baru. Gerakan ini bermula dari penculikan dan pembunuhan jenderal TNI, berlangsung dalam beberapa jam dan berhasil dipatahkan.  Dampak ikutannya luar biasa besar termasuk pembunuhan massal anggota dan simpatisan PKI. Kekuasaan Presiden Soekarno jatuh dan berdirilah Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto. Hingga sekarang, misteri yang menaungi gerakan ini belum kunjung terpecahkan. Penelitian sejarawan dalam berbagai versi menunjukkan latar belakang dan tujuan yang berbeda dari gerakan ini. Versi pertama adalah versi pemerintah Orde Baru. Versi ini G30S adalah kudeta yang dilancarkan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) terhadap Pancasila. Versi kedua adalah penelitian yang dilakukan oleh Ben Anderson dan Ruth McVey atau dikenal dengan Cornell Paper

Ribut PKI, Presiden Sukarno: Pancasila Itu Kiri!

TEMPO.CO, Jakarta - Fobia komunisme baru-baru ini muncul lagi setelah kontroversi simposium nasional Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan yang digelar Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan di Hotel Aryaduta, Jakarta, pada 18-19 April 2016. Kelompok masyarakat yang getol menyuarakan bahaya kebangkitan komunisme, terutama militer, memprotes keras. Muncullah acara tandingan, yaitu Silaturahmi Purnawirawan TNI/Polri, Ormas Keagamaan, dan Kepemudaan di Balai Kartini, Jakarta. Lalu marak sweeping buku-buku tentang ideologi kiri dan simbol-simbol yang mirip lambang Partai Komunis Indonesia. Sekitar satu bulan setelah Gerakan 30 September 1965, Presiden Sukarno berbicara dalam sidang paripurna Kabinet Dwikora di Istana Bogor pada 6 November 1965. Di hadapan para menteri dan pejabat tinggi, Presiden Sukarno menjelaskan mengenai watak Pancasila sebagai ideologi negara dikaitkan dengan kisruh politik dan gerakan antikomunisme.  Menurut Presiden Sukarno, sepert

Pidato Martin Luther King Dorong Amerika Hapus Rasisme

“Aku bermimpi di mana pada suatu hari nanti keempat anakku akan tinggal di sebuah negara yang tidak menilai seseorang berdasarkan warna kulitnya tetapi berdasarkan karakter.” Siang itu, 28 Agustus 1963, seorang aktivis dan pendeta bernama Martin Luther King Jr membakar 250 ribu orang yang berkumpul di depan Lincoln Memorial. “I have a dream”, demikian pidato itu diingat, menjadi salah satu pidato paling berpengaruh dalam sejarah Amerika Serikat.    Dalam pidatonya, King berbicara mengenai pengangguran, masalah rasial, serta keadilan sosial. Dengan suara menggetarkan, Luther King Jr pHak-Hak Sipil, kesetaraan antara kulit putih dan kulit berwarna, serta pencabutan undang-undang dan kebijakan yang mendukung segregasi berdasarkan ras. Terinspirasi oleh pidato Gettysburg Lincoln pada 1863, yang menekankan kesetaraan dan kemerdekaan, King menekankan bahwa kondisi kulit hitam tak mengalami perubahan setelah Amerika berjalan selama satu abad semenjak Perang Sipil berakhir. Hingga

Sulitnya (Punya) Anak Superpandai

Umur Audrey baru empat tahun. Saat itu. Tapi pertanyaannya setinggi filosof: Ke mana perginya rasa bahagia? Atau: Apa arti kehidupan? Pertanyaan seperti itu membuat orang tuanya kewalahan. Begitu sering dia tanyakan. Dan tidak ada jawaban. Gurunya belingsatan. Lingkungannya jengkel. Di mata mereka, Audrey-cilik tetap dianggap bocah ingusan. Tidak pantas bertanya seperti itu. Bahkan, ada yang menganggapnya mengidap kelainan jiwa. Kalangan dewasa menganggapnya tidak normal. Teman sebaya menganggapnya aneh sendiri. Harus dijauhi. Tidak bisa diajak berteman. Harus dikucilkan. Situasi lingkungan seperti itu membuat Audrey menderita. Padahal, dia merasa normal. Semua pelajaran bisa dia ikuti dengan baik. Sangat baik. Bahkan istimewa. Semua bisa dia jawab. Bahkan yang belum ditanyakan sekali pun. Tapi, dia merasa terasing. Di rumahnya, di sekolahnya, di pergaulannya, dan juga di gerejanya. Di rumah, dia selalu dimarahi. Di sekolah selalu di-bully. Di pergaulan ibunya sela