Skip to main content

Posts

Showing posts from November, 2018

Deliar Noer : "Ini Dadaku. Mana Dadamu!

Isu agama merebak pada Sidang Istimewa MPR dua pekan silam. Pasukan Pengamanan (Pam) Swakarsa yang terkenal dengan senjata bambu runcingnya itu menggunakan simbol Islam dalam "perjuangannya" melawan mahasiswa yang tak setuju dan berniat menggagalkan jalannya sidang. Mereka bahkan rela berjihad. Fenomena ini lantas mencuatkan kesan, seolah-olah muncul adanya musuh Islam. "Padahal tidak begitu. Mahasiswa juga banyak yang Islam," kata Deliar Noer. Kepada Ardi Bramantyo dari TEMPO, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Umat Islam itu mengurai motif politik di balik kemasan agama yang digunakan untuk menjegal laju mahasiswa. Petikannya: Apakah Kongres Umat Islam di Pondokgede sarat dengan muatan politis? Sepertinya begitu. Salah satu deklarasinya mendukung sidang istimewa. Mereka terlalu melihat, kalau Habibie turun, umat Islam rugi besar. Padahal, apa yang telah dilakukan Habibie untuk umat Islam? Jadi, ada indikasi, Habibie menggunakan Islam sebagai p

Perubahan Itu Bukan Seperti Aladin

Revolusi industri tengah berjalan di PT Bogasari Flour Mills. Dalam setahun terakhir, proses produksi di pabrik pengolahan terigu di Tanjung Priok, Jakarta Utara, itu berjalan otomatis terintegrasi komputer. Belum sepenuhnya revolusi industri 4.0, memang. Pabrik yang berdiri pada 1971 itu masih menggunakan mesin era industri 3.0, bahkan 2.0. Direktur PT Indofood Sukses Makmur Tbk Kepala Divisi Bogasari Franciscus Welirang mengatakan, di antara 15 line mesin penggilingan gandum Bogasari, baru 3 line yang tergolong mesin era industri 4.0. "Kalau langsung diganti total belum tentu berjalan," kata Franciscus dalam wawancara khusus dengan Tempo, Rabu tiga pekan lalu. Franky-panggilan pria 66 tahun itu-mendarah daging di Bogasari. Dia memimpin anak usaha PT Indofood Sukses Makmur itu sejak 23 tahun lalu. Menantu pendiri Indofood, Sudono Salim, ini mengatakan penerapan revolusi industri terbaru tidak semudah membalikkan telapak tangan. Perusahaan, kata dia, harus cerdas mem

Pam Swakarsa: Aktor atau Korban?

Jumat petang, 13 November. Sebelum tragedi berdarah membasahi Jembatan Semanggi, sebuah drama lain menyergap Jembatan Cawang, Jakarta Timur. Peristiwanya bermula ketika sekitar 30 orang--rata-rata bertubuh gempal, berwajah keras, dan berikat kepala hijau--menghadang ratusan mahasiswa yang tengah berarak menuju Gedung DPR/MPR Senayan. Sekelompok orang sipil itu, yang belakangan ini populer dengan sebutan Pasukan Pengamanan (Pam) Swakarsa, bersiaga di depan barikade polisi dan tentara, menyerupai tameng. Bukan mahasiswa rupanya yang harus mereka hadapi, melainkan ribuan massa. Dengan satu teriakan, "Pam Swakarsa.... Tangkap!" warga setempat yang semula hanya menonton seperti dikomando: melempari orang-orang berikat kepala itu dengan batu. Mereka sempat membalas dengan lemparan batu pula, seraya mengacung-acungkan badik. Tapi, menyadari jumlahnya terlalu sedikit, mereka lari kocar-kacir. Tak semua selamat Lima dari mereka terjebak di sebuah tanah lapang berawa-r