Skip to main content

Posts

Showing posts from 2018

Deliar Noer : "Ini Dadaku. Mana Dadamu!

Isu agama merebak pada Sidang Istimewa MPR dua pekan silam. Pasukan Pengamanan (Pam) Swakarsa yang terkenal dengan senjata bambu runcingnya itu menggunakan simbol Islam dalam "perjuangannya" melawan mahasiswa yang tak setuju dan berniat menggagalkan jalannya sidang. Mereka bahkan rela berjihad. Fenomena ini lantas mencuatkan kesan, seolah-olah muncul adanya musuh Islam. "Padahal tidak begitu. Mahasiswa juga banyak yang Islam," kata Deliar Noer. Kepada Ardi Bramantyo dari TEMPO, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Umat Islam itu mengurai motif politik di balik kemasan agama yang digunakan untuk menjegal laju mahasiswa. Petikannya: Apakah Kongres Umat Islam di Pondokgede sarat dengan muatan politis? Sepertinya begitu. Salah satu deklarasinya mendukung sidang istimewa. Mereka terlalu melihat, kalau Habibie turun, umat Islam rugi besar. Padahal, apa yang telah dilakukan Habibie untuk umat Islam? Jadi, ada indikasi, Habibie menggunakan Islam sebagai p

Perubahan Itu Bukan Seperti Aladin

Revolusi industri tengah berjalan di PT Bogasari Flour Mills. Dalam setahun terakhir, proses produksi di pabrik pengolahan terigu di Tanjung Priok, Jakarta Utara, itu berjalan otomatis terintegrasi komputer. Belum sepenuhnya revolusi industri 4.0, memang. Pabrik yang berdiri pada 1971 itu masih menggunakan mesin era industri 3.0, bahkan 2.0. Direktur PT Indofood Sukses Makmur Tbk Kepala Divisi Bogasari Franciscus Welirang mengatakan, di antara 15 line mesin penggilingan gandum Bogasari, baru 3 line yang tergolong mesin era industri 4.0. "Kalau langsung diganti total belum tentu berjalan," kata Franciscus dalam wawancara khusus dengan Tempo, Rabu tiga pekan lalu. Franky-panggilan pria 66 tahun itu-mendarah daging di Bogasari. Dia memimpin anak usaha PT Indofood Sukses Makmur itu sejak 23 tahun lalu. Menantu pendiri Indofood, Sudono Salim, ini mengatakan penerapan revolusi industri terbaru tidak semudah membalikkan telapak tangan. Perusahaan, kata dia, harus cerdas mem

Pam Swakarsa: Aktor atau Korban?

Jumat petang, 13 November. Sebelum tragedi berdarah membasahi Jembatan Semanggi, sebuah drama lain menyergap Jembatan Cawang, Jakarta Timur. Peristiwanya bermula ketika sekitar 30 orang--rata-rata bertubuh gempal, berwajah keras, dan berikat kepala hijau--menghadang ratusan mahasiswa yang tengah berarak menuju Gedung DPR/MPR Senayan. Sekelompok orang sipil itu, yang belakangan ini populer dengan sebutan Pasukan Pengamanan (Pam) Swakarsa, bersiaga di depan barikade polisi dan tentara, menyerupai tameng. Bukan mahasiswa rupanya yang harus mereka hadapi, melainkan ribuan massa. Dengan satu teriakan, "Pam Swakarsa.... Tangkap!" warga setempat yang semula hanya menonton seperti dikomando: melempari orang-orang berikat kepala itu dengan batu. Mereka sempat membalas dengan lemparan batu pula, seraya mengacung-acungkan badik. Tapi, menyadari jumlahnya terlalu sedikit, mereka lari kocar-kacir. Tak semua selamat Lima dari mereka terjebak di sebuah tanah lapang berawa-r

Manusia Bebal

Ini adalah sebuah puisi Manusia Bebal yang percaya diri Maunya hanya menang sendiri Tanpa pernah introspeksi diri Hidup itu dibuat gampang Anda mau dihargai orang? Buat Anda menghargai orang Bicaranya jangan mengajak perang Kalau saya tidak Anda perlukan Anda juga tidak saya perlukan Nadanya memang bukan persahabatan Tapi perlu buat pelajaran Jangan paksa saya bergabung Hidup dengan cara terkungkung Cara yang akhirnya berujung Membuat Anda menjadi MBAMBUNG Lho ... Mengapa menyebut MBAMBUNG? Kok bukan kurang beruntung? Mengapa pakai bahasa kasar? Semuanya pasti punya dasar Bicara dengan bahasa halus Tidak pernah merasa peduli Bicara dengan bahasa kasar Merasa sakit hati sendiri Ketika semua jalan dibuka Hanya perlu pergi kerja Kok masih banyak bicara Masih bawa Tuhan juga Di mana ada kemauan Di situ ada banyak jalan Di mana tidak ada kemauan Di situ ada banyak alasan Ah, sudahlah ... Anda memang Manusia Bebal Bisanya mengeluh sebagai tumbal

MANUSIA GAGAL - Antara Aku, Kerbau dan Kamu

Dulu... Kamu pernah berkata menyesal Semua kekacauan ini terjadi Semua karena ulahmu Lalu bertanya ... Mengapa orang jahat Tidak cepat mati? Lalu bertanya ... Apakah manusia sudah ditakdirkan Menjadi bodoh dan miskin? Dan aku selalu jawab ... Dengan semua yang aku tahu Dengan semua yang aku alami Dengan menunjukkan semua bukti Lalu kamu bertanya lagi ... Mengapa semua orang Penuh caci maki ke kamu? Aku selalu berkata ... Bertindaklah! Tunjukkan! Kamu layak tidak dicaci maki Sering kali ... Kamu berkata Ingin mencari suatu pekerjaan Yang tidak perlu berpikir Dan aku selalu berkata ... Hidup itu harus berjuang Berpikir itu termasuk berjuang Dan aku pernah berkata... Gembala kerbau pun berpikir Ketika sang kerbau sakit Kecuali kamu sebagai kerbaunya Dan aku pernah berkata ... Ketika kamu memutuskan menikah Kamu harus bertanggung jawab Terhadap keluarga kecilmu. Kecuali lagi... Kamu menikah dengan ... Seekor kerbau lagi Dan aku selalu berk

Masihkah Kita Percaya Pada Demokrasi?

Terpilihnya Vladimir Putin menjadi presiden Rusia untuk yang keempat kalinya pada Pemilu yang baru lalu semakin menguatkan apatisme kaum anti-demokrasi. Sebelumnya, kemenangan Donald Trump di Amerika Serikat juga dianggap sebagai contoh nyata paradoks demokrasi. Demokrasi bukan hanya menghasilkan pemimpin jelek, tapi juga bisa melanggengkan mereka untuk terus berkuasa. Contoh paling klasik terhadap paradoks demokrasi adalah kemenangan Partai Nazi di Jerman pada 1932. Lewat Pemilu yang cukup adil dan terbuka, rakyat Jerman memilih partai yang dipimpin seorang yang kemudian terbukti penjahat. Sebuah negara yang melahirkan puluhan filsuf hebat dan belasan komponis besar, bisa menghasilkan manusia begitu keji. Pertanyaannya, mengapa itu bisa terjadi? Mengapa demokrasi yang dianggap “sistem terbaik dari yang ada” kerap kali terjatuh pada kekeliruan yang sama? Ada banyak penjelasan untuk pertanyaan ini. Para filsuf sejak lama mencurigai demokrasi. Plato salah satunya. Menurutnya, de

Saat Korporasi Menyalakan Harapan

Suatu siang di Kelurahan Kalibaru, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara. Warga, termasuk anak-anak, di salah satu rukun warga perkampungan nelayan, mengantre makanan di sebuah rumah. Mereka menjadi sasaran perbaikan gizi. Ada kisah perjalanan dari para pemilik korporasi, wirausaha sosial, relawan, hingga warga yang menerima makanan tersebut. Sejak pagi, beberapa relawan yang tinggal di wilayah itu telah menyiapkan makanan yang dibawa Foodbank of Indonesia (FoI), salah satu wirausaha sosial. Mereka memanaskan makanan dan susu, kemudian membuat pengumuman dan membagi makanan bagi warga. Mereka terus bekerja hingga semua warga lanjut usia dan anak-anak mendapatkan makanan. Saat kegiatan itu usai, relawan yang semuanya perempuan itu merapikan kembali keranjang dan tempat makanan. ”Puas, sudah selesai. Kami di sini bergotong royong menyediakan makanan yang dibawa Foodbank of Indonesia. Kami sukarela bekerja. Senang rasanya jika semua lansia dan anak-anak telah mendapat makana

Ukuran

Ibu Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan, mengomentari cuitan Fadli Zon dengan pertanyaan seperti ini. ”Ukuran keberhasilan yang telah Anda lakukan apa Pak Fadli yang terhormat? Mohon pencerahan. ” Setelah membaca komentar itu, malah saya yang kesetrum. Pertanyaan itu membombardir saya dengan sejuta pertanyaan di kepala. Sebagai Apa ukuran kesuksesan saya sebagai seorang anak? Sebagai seorang kakak? Sebagai seorang adik? Sebagai seorang laki-laki? Sebagai seorang karyawan? Sebagai seorang pimpinan? Sebagai seorang warga negara? Sebagai seorang murid? Sebagai seorang teman? Sebagai seorang tetangga? Sebagai seorang rekan usaha? Sebagai guru? Sebagai polisi? Sebagai politikus? Sebagai pembantu rumah tangga? Dan sejuta sebagai lainnya? Dan mungkin untuk Anda yang telah menikah, pertanyaan bisa jadi bertambah dengan apa ukuran kesuksesan sebagai suami? Sebagai istri? Sebagai ayah? Sebagai ibu? Sebagai orangtua? Sebagai pasangan hidup? Apa ukuran kesuksesan perkawin

Perbuatan-perbuatan yang Termasuk Pencemaran Nama Baik

Pertanyaan: Saya ingin tahu hal-hal apa saja yang dapat dikategorikan dalam pencemaran nama baik? Kalau saya tidak termasuk dalam kategori itu, hal apa yang bisa saya tuntut balik? Terima kasih. Jawaban : Terima kasih atas pertanyaan Anda, Sebelum menjawab pertanyaan Anda, terlebih dahulu kami akan jelaskan arti kata “pencemaran nama baik” yang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) dikenal sebagai “penghinaan”. R Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal 225) dalam penjelasan Pasal 310 KUHP, menerangkan bahwa, “menghina” adalah “menyerang kehormatan dan nama baik seseorang”. Yang diserang ini biasanya merasa “malu” “Kehormatan” yang diserang di sini hanya mengenai kehormatan tentang “nama baik”, bukan “kehormatan” dalam lapangan seksuil, kehormatan yang dapat dicemarkan karena tersinggung anggota kemaluannya dalam lingkungan nafsu birahi kelamin. Pada prinsipnya