Skip to main content

Wali Singo Berasal Dari China?

Pada tahun 1968 terbit buku Prof. Slamet Mulyana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara. Buku itu dilarang oleh Kejaksaan Agung karena mengungkapkan hal-hal yang kontroversial waktu itu, yakni sebagian Wali Songo berasal dari China. Tidak ada salahnya, bila benar bahwa sembilan penyebar agama Islam itu dari China atau dari belahan dunia mana pun.

Yang menjadi persoalan adalah saat itu rezim Orde Baru telah menetapkan China sebagai musuh karena negara itu dituduh membantu Gerakan 30 September 1965. Pemerintah Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan Beijing, dan segala yang berbau China dilarang.

Pada era reformasi ini ada baiknya pendapat Slamet Muljana itu dikaji ulang dengan pikiran yang lebih tenang. Slamet Muljana membandingkan atau lebih tepat-melakukan kompilasi terhadap tiga sumber yaitu, Serat Kanda, Babad Tanah Jawi dan naskah dari Klenteng Sam Po Kong yang ditulis Poortman dan dikutip Parlindungan.

Residen Poortman tahun 1928 ditugasi pemerintah kolonial untuk menyelidiki apakah Raden Patah itu orang China. Raden Patah bergelar Panembahan Jimbun dalam Serat Kanda, dan Senapati Jimbun dalam Babad Tanah Jawi. Kata jim bun dalam salah satu dialek China berarti "orang kuat". Maka sang Residen itu menggeledah Kelenteng Sam Po Kong di Semarang dan mengangkut naskah berbahasa Tionghoa yang ada di sana - sebagian sudah berusia 400 tahun - sebanyak tiga cikar (pedati yang ditarik lembu). Arsip Poortman ini dikutip Mangaraja Onggang Parlindungan yang menulis buku yang juga kontroversial Tuanku Rao. Slamet Muljana banyak menyitir buku ini.

Slamet menyimpulkan, Bong Swi Hoo - yang datang di Jawa tahun 1445 - sama dengan Sunan Ampel. Bong Swi Hoo ini menikah dengan Ni Gede Manila yang merupakan anak Gan Eng Cu (mantan kapitan China di Manila yang dipindahkan ke Tuban sejak 1423). Dari perkawinan ini lahir Bonang yang kemudian dikenal sebagai Sunan Bonang. Bonang diasuh Sunan Ampel bersama dengan Giri yang kemudian dikenal sebagai Sunan Giri.

Putra Gan Eng Cu yang lain adalah Gan Si Cang yang menjadi kapitan China di Semarang. Tahun 1481 Gan Si Cang memimpin pembangunan masjid Demak dengan tukang-tukang kayu dari galangan kapal Semarang. Tiang penyangga masjid itu dibangun dengan model kontruksi tiang kapal yang terdiri dari kepingan-kepingan kayu yang tersusun rapi. Tiang itu dianggap lebih kuat menahan angin badai daripada tiang yang terbuat dari kayu yang utuh.

Akhirnya Slamet menyimpulkan, Sunan Kali Jaga yang masa mudanya bernama Raden Said itu tak lain dari Gan Si Cang. Sedangkan Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah menurut Slamet Mulyana adalah Toh A Bo, putra Sultan Trenggana (memerintah di Demak tahun 1521-1546). Sementara Sunan Kudus atau Jafar Sidik yang tak lain dari Ja Tik Su.

Tentu tidak ada larangan untuk berpendapat bahwa Wali Songo itu berasal dari China atau keturunan China. Namun, kelemahan Slamet Muljana, ia hanya mendasarkan kesimpulannya pada buku yang ditulis MO Parlindungan. Slamet pun tidak memeriksa sendiri naskah-naskah yang berasal dari kelenteng Sam Po Kong Semarang itu. Dengan melakukan penelitian terhadap sumber berbahasa China, baik yang ada di Nusantara maupun di daratan China, diharapkan periode ini (terutama mengenai penyebaran agama Islam di Jawa abad XV-XVI) dapat dijelaskan dengan lebih baik.

Sebetulnya, pada masa ini cukup banyak sumber mengenai laksamana muslim Cheng Ho yang berlayar ke berbagai penjuru dunia awal abad XV dengan armada yang lebih besar dari pelaut Eropa. Cheng Ho sendiri mempunyai penerjemah Ma Huan yang juga beragama Islam dan menuliskan pengalaman ini dalam buku Yingyai Senglan.

Dalam buku itu dilaporkan tentang masyarakat China yang bermukim di Jawa yang berasal dari Kanton, Zhangzhou dan Quanzhou. Mereka telah meninggalkan negeri China dan menetap di pelabuhan-pelabuhan pesisir Jawa sebelah timur. Di Tuban mereka merupakan sebagian besar penduduk yang waktu itu jumlahnya mencapai "seribu keluarga lebih sedikit".

Di Gresik hanya ada "pantai tanpa penghuni" sebelum orang Kanton menetap di sana. Di Surabaya sejumlah besar penduduk juga orang China. Menurut Ma Huan "kebanyakan orang China itu telah masuk agama Islam dan menaati aturan agama". (Lombard, Nusa Jawa, jilid II, 1996)

Pada abad-abad berikutnya sudah ada sumber berbahasa Eropa mengenai tokoh China yang beragama Islam. Ketika Banten mengalami masa kejayaan pada abad XVII, di sana ada pengusaha besar Tan Tse Ko. Ia bisa membaur dalam masyarakat Banten dengan menyatakan diri masuk Islam dan berganti nama jadi Cakradana.

Ia adalah seorang eksportir yang memiliki wawasan global. Dalam catatan sejarah tercantum, ia misalnya berkali-kali mengirim kapal dagang ke Indocina tahun 1670, 1671, 1672, 1676. Bukti bahwa Tan Tse Ko mempunyai hubungan dagang dengan saudagar Eropa terlihat dari surat tagihan utangnya yang ada di museum pada sebuah negeri Skandinavia, tertulis dalam bahasa Melayu, bahasa yang menjadi lingua franca di bilangan Nusantara ketika itu.

Saya tidak berbicara tentang akidah, sesuatu yang ada di dalam hati dan hanya diketahui masing-masing orang. Tidak diketahui apakah ia taat beribadah, hal ini  tak disebut dalam sumber sejarah. Namun secara formal ia masuk agama yang dipeluk oleh mayoritas masyarakat Banten masa itu. Yang jelas, dengan menjadi muslim, Cakradana telah dapat diterima menjadi anggota masyarakat Banten.

Karena dekat dengan raja - bukan sekarang saja, pedagang diangkat menjadi pejabat - pada tahun 1677 Cakradana diangkat menjadi syahbandar. Sayang, pada April 1682, VOC merebut Banten dan melarang seluruh perdagangan internasional yang selama ini dilakukan Banten, dalam rangka mendapatkan monopoli bagi pihak Belanda.

Tulisan ini diakhiri dengan penyataan, sumber berbahasa China juga penting bagi penulisan sejarah penyebaran Islam di Nusantara (termasuk mengenai penyebaran Wali Songo) maupun bagi sejarah nasional secara umum. Selama 35 tahun, hal ini telah terabaikan.

Sumber: Membongkar Manipulasi Sejarah Kontroversi Pelaku dan Peristiwa - Asvi Warman Adam

Comments

Popular posts from this blog

Daftar Stasiun Kereta Api - Jalur Utara

Kalo di artikel sebelumnya kita bicara soal jalur selatan Kereta Api di Jawa, kali ini kita akan membahas mengenai jalur utara. Di jalur utara ini melintas kereta Argo Bromo Anggrek. Kereta ini dikenal sebagai raja di antara semua kereta api yang ada di Indonesia. Disebut raja karena ketika kereta api ini lewat, baik dari berlawanan arah atau arah yang sama, semua kereta akan berhenti untuk memberinya kesempatan berjalan terlebih dahulu. Mau tahu lintasan yang dilaluinya? Berikut ini disajikan nama-nama stasiun yang dilewati Kereta Api jika Anda bepergian menggunakan jalur utara (dari Gambir sampai dengan Surabaya Pasar Turi). Stasiun yang dicetak dengan huruf besar termasuk kategori staiun besar. GAMBIR Gondangdia Cikini Manggarai JATINEGARA Cipinang Klender Klender Baru Cakung Rawa Bebek Kranji BEKASI Tambun Cibitung Cikarang Lemah Abang Tanjung Baru Kedung Gedeh KERAWANG Klari Kosambi Dawuan CIKAMPEK Tanjung Rasa Pabuaran Pringkasep Pasir Bungur Cikaum Pagaden Baru Cipunegara Haurg

Daftar Stasiun Kereta Api - Jalur Selatan

Kita mungkin kenal dengan Jakarta, Cirebon, Purwokerto, Yogyakarta, Solo, Madiun, Surabaya. Ya, semua itu adalah nama kota di Jawa. Tapi tahukah Kaliwedi, Butuh, Luwung Gajah, Kemiri, Bagor? Saya yakin tidak semua orang mengenalnya. Jika Anda sering bepergian dengan Kereta Api melewati jalur selatan maka Anda akan menemukan stasiun dengan nama di atas. Dengan mengetahui perkiraan letaknya maka Anda bisa mengetahui posisi Anda sedang berada di dekat kota mana. Berikut ini disajikan nama-nama stasiun yang dilewati Kereta Api jika Anda bepergian melalui jalur selatan (dari Pasar Senen sampai dengan Surabaya Gubeng). Stasiun yang dicetak tebak terbasuk kategori stasiun besar. Tut tut tut ... PASAR SENEN Gangsentiong Kramat Pondok Jati JATINEGARA Cipinang Klender Buaran Klender Baru Cakung Rawabebek Kranji BEKASI Bekasi Timur Tambun Cibitung Telaga Murni Cikarang Lemahabang Kedunggedeh KERAWANG Klari Kosambi Dawuan CIKAMPEK Tanjung Rasa Pabuaran Pringkasap Pasirbungur Cikaum Pagaden B

Nyanyian Rindu Untuk Ibu - Ebiet G Ade

Tubuhmu yang terbungkuk tersandar lemah di kursi kayu tua jemari kurus terkulai menggenggam pena engkau goresan sajak sisa rambutmu perak tinggal sengeggam terbaca pahit kerasnya perjalanan nampakanya ingin kau tumpahkan seluruhnya di dalam puisi Dari alis matamu terbentuk garis guratan kokoh jiwa angin yang deras menghempas tak kau hiraukan batinmu kuat bertahan meskipun raga semakin rapuh tak pernah risau selalu tersimpul senyum sepantasnya kujadikan suri teladan potret perjuangan Oh-oh, ibu, ada yang ingin kutanyakan padamu hasil panen kemarin sesubur panenan yang kita petik bersama Oh-oh, ibu, apa kabar sawah kita sepetak masih bisakah kita tanami atau terendam ditelan zaman Setelah cucumu lahir aku lebih faham betapa beratnya membesarkan dan setia melindungi semua anak-anakmu kita yang selalu hidup sederhana kau sanggup mengasuh hingga kami dewasa dengarkankah nyanyian yang aku peruntukkan buatmu ibu....