Skip to main content

Michael D. Ruslim: Saya Sudah Menolak Jabatan CEO Dua Kali

Michael D. Ruslim dikenal low profile. Ia tak suka banyak bicara. Meski begitu, di bawah kepemimpinannya, Astra terlihat ekspansif memasuki bisnis-bisnis baru. Apa yang melatarbelakanginya? Kepada J.B. Soesetiyo, Genuk Christiastuti, Prananda Herdiawan, dan Houtmand P. Saragih, Kamis (21/9) pagi di kantor pusat Astra di Sunter, Jakarta, Michael bertutur panjang soal ini. Ia didampingi oleh direktur Astra International, Prijono Sugiarto, serta Aminuddin dan Yulian Warman dari Corporate Communication Astra International.
Petikannya:
Apakah menjadi CEO merupakan impian Anda sejak remaja?
Saya tak pernah punya cita-cita luhur. Sewaktu SMA saya bercita-cita jadi pembalap mobil atau gokar. Bukan mau sok beragama, saya Cuma berusaha melakukan yang terbaik, dan biar Allah yang menentukan. Sewaktu menerima jabatan presdir, itu pun bukan karena ambisi, tetapi lantaran saya merasa bertanggung jawab terhadap 118.000 karyawan. Juga jangan sampai Astra dikuasai asing—ini di luar fakta saham Astra kini dikuasai asing. Bukan karena anti asing, tetapi kami mencoba mempertahankan apa yang baik selama ini.
Beberapa tahun sebelumnya Anda juga tak punya bayangan akan menjadi CEO?
Saya sudah dua kali menolak jabatan ini. Kalau akhirnya saya terima karena alasan tanggung jawab tadi. Kedua, karena permintaan teman-teman, terutama dari arus bawah, seperti ikatan karyawan dan koperasi karyawan Astra.
Susahkah menjadi CEO di Astra?
Susah kalau tidak memiliki filosofi dasar atau basic system. Saya sering berkunjung ke berbagai daerah, tetapi karena sistem dan filosofinya sudah sama, lebih mudah mengarahkannya. Kalau pemimpin bingung, repot jadinya. Bawahan akan makin bingung. Pemimpin itu sumbu. Kalau sumbu itu bergerak sedikit, rodanya akan bergerak banyak sekali. Persoalannya, bagaimana memastikan roda dan sumbu punya objektif yang sama?
Sebagai CEO, saat melihat peluang investasi, Anda butuh perencanaan mendetail atau ambil saja dulu?
Untuk organisasi sebesar Astra, dan dengan adanya pemegang saham, memang butuh waktu. Namun, bagi saya pribadi, dalam kehidupan ini tak ada yang sempurna. Angka adalah angka. Kalau saya merasa 60%—70% bisa berhasil, saya ambil. Sisanya pakai feeling sajalah.
Siapa CEO panutan Anda?
Saya seorang observer. Saya merasa setiap orang ada plus minusnya. Jack Welch adalah partner saya sewaktu di Astra Sedaya. Saya kenal dia sewaktu masih di Citigroup. John Reid, CEO Citigroup, juga saya kenal. Prinsip saya, seorang pemimpin tak boleh menyalahkan orang lain. Kalau ada anak buah yang salah, dalam arti bukan fraud, tanggung jawab terakhir ada di pemimpin. Selain itu, sebagai pemimpin, yang penting adalah komunikasi. Kadang kita berpikir orang lain mengerti apa yang kita sampaikan. Padahal, belum tentu. Perlu komunikasi dua arah. Dengan begitu, pemimpin mengerti kondisi di lapangan dan objektif yang dikehendaki.
Apa yang ingin Anda capai dalam tiga tahun kepemimpinan Anda?
Sewaktu menerima jabatan ini, saya berkonsultasi dengan Pak Teddy Rachmat. Saya bertanya, “Apa yang harus saya lakukan?” Kata dia, “You have to create a future leader.” Sebab, saat ini tantangannya bersifat global. Untuk industri otomotif, misalnya, kami akan menghadapi tantangan dari Cina dan Korea Selatan. Kami harus siap jika margin makin berkurang dengan hadirnya pemain-pemain ini. Kami harus memasuki bidang bisnis baru supaya Astra tetap tumbuh. Jadi, tidak hanya mempekerjakan 118.000 orang, tetapi 200.000-an.
Korea Selatan terkenal dengan lompatan inovasinya, sementara Astra menerapkan prinsip kaizen. Anda tidak khawatir?
Itu tantangan kami. Toyota, perusahaan dengan keuntungan terbesar di dunia, menganggapnya sebagai tantangan. Saat saya bertemu CEO Toyota, ada beberapa hal yang dia sampaikan. Katanya, kalau kita tak bisa menurunkan cost of car sampai 15%, dengan asumsi harga flat, maka tiga tahun dari sekarang kita tak bisa bersaing dengan produk-produk Cina. Maka, kami perlu terobosanterobosan, yakni dengan memasuki bisnis-bisnis baru dan memotong supply chain, serta meng-upgrade SDM. Itu sebabnya kami kirim orang ke Samsung. Mereka harus belajar bagaimana Samsung bisa melewati Sony dalam bidang elektronik.
Bicara soal globalisasi, apa tantangan terbesar Astra?
Globalisasi kelak berujung pada kompetisi biaya. Secara makro, kami tak lagi bisa mengandalkan sistem ekonomi yang terproteksi atau belanja pemerintah. Sektor swasta harus mengusahakan sendiri.
Bagaimana Anda menyiapkan SDM agar siap menghadapi globalisasi?
William Soeryadjaya menanamkan kultur dan filosofi yang sangat baik dan menjadi keuntungan kami saat ini. Filosofi itu ada empat. Pertama, to be an asset to the nation. Setiap bisnis yang kami masuki harus punya kontribusi pada pembangunan nasional. Cara pikir Om Willem sederhana: jika ekonomi nasional tidak berkembang, Astra pun tak akan berkembang. Jadi, setiap bisnis yang kami masuki harus punya multiplier effect.
Kedua, customer satisfaction. Setiap produk harus memenuhi kebutuhan customer. Kami belajar dari Jepang, customer is the next process. Jadi, harus ada keselarasan antara manufacturing dan marketing. Kalau kami bisa membuat, tetapi tak bisa menjual, untuk apa? Jadi, customer satisfaction merupakan kesinambungan.
Ketiga, respect for individuals and promote teamwork. Di Astra, kami tak mengenal pemisahan berdasarkan agama dan ras. Kami saling hormat dan menghargai, yang kemudian menghasilkan teamwork. Teamwork ini bukan berarti kelompok yang isinya superstar. Tim-tim tersebut bisa terdiri dari berbagai latar belakang, yang satu sama lain saling melengkapi.
Keempat, strive for excellence. Apa pun yang dikerjakan, kami upayakan mencapai hasil yang sempurna. Empat hal tersebut menjadi filosofi kami.
Bagaimana dengan urusan R&D?
R&D kami hanya sebatas rekomendasi produk yang dibutuhkan pasar Indonesia. Seperti Avanza dan Xenia, idenya dari kami. Pada masa itu Kijang adalah best selling dengan harga Rp40 juta. Setelah krisis menjadi Rp160 juta. Sementara itu, masyarakat tak punya daya beli. Kami sampaikan ini ke Toyota dan Daihatsu. Akhirnya, kami membuat Avanza dan Xenia. Biaya R&D sangat mahal dan menyangkut economies of scale. Avanza dan Xenia bisa mencapai skala ekonomis hanya kalau diproduksi di Indonesia. Avanza kami ekspor ke Thailand dan Malaysia.
Apa kelemahan Astra saat ini?Boleh dibilang Astra sukses di semua bidang. Sukses ini jangan sampai membuat kami takabur. Ini bisa menjadi semacam mindset. Tahun depan Astra sudah 50 tahun, mudah-mudahan Astra bisa terus langgeng.
Apa yang Anda lihat sebagai kekurangan Anda?
Banyak sekali. Jika harus memecat banyak orang, mungkin saya tak sanggup. Pak Teddy Rachmat pun sama. Banyak sekali komprominya. Saya kadang kurang senang berkumpul dan tak betah berdiskusi panjang lebar. Ini bias mengundang penilaian bahwa saya tidak terbuka. Padahal, bukan itu persoalannya. Bagi saya, masalahnya tidak substansif mengapa harus diperdebatkan?
Kalau terpaksa harus mengurangi karyawan, apa yang Anda lakukan?
Tanggung jawab terbesar perusahaan ada pada pimpinan. Apa artinya memecat 100 satpam dibanding dengan saya tidak melakukan perjalanan ke Jepang satu kali? Cost-nya hampir sama. Kalaupun ada pemecatan atau mutasi, saya coba pada level pimpinan unit usaha terlebih dahulu. Sebab, karyawan hanya menjadi korban. Sesungguhnya yang membuat organisasi menjadi mahal atau tidak, itu terlihat dari pimpinannya. Walau di Grup Astra kami pernah melakukan itu pada 1999, dan di Astra Graphia tahun 2003, kami harus yakin dulu golden parachute-nya cukup untuk membuka usaha.
Apa mimpi Anda terhadap karyawan?
Keberadaan karyawan penting dalam menentukan laju perusahaan. Saya tak mungkin melakukan semuanya sendiri. Karyawan tak harus selalu diartikan dengan kompensasi uang. Jadi, yang penting ada human touch.
Bagaimana cara Anda membangun networking?
Saya sudah membangun networking sejak di Citigroup. Sewaktu SMA, saya juga sudah melakukannya. Saya lahir dan besar di Buahbatu, Bandung. Saya bukan orang yang senang berkelahi, tetapi bisa masuk ke Boysclub, geng anak muda Bandung yang dulu terkenal. Dalam dunia bisnis pun sama. Saya bisa membuat perusahaan finance karena kenal dengan Dicky Iskandar Di Nata, yang dulu wakil dirut Bank Duta, dan Robby Djohan, yang dirut Bank Niaga.
Kondisi apa yang bisa membuat Anda stres?Dari sisi pekerjaan saya tidak pernah stres. Cuma, dalam organisasi kadang ada hal-hal yang sifatnya politis. Ada yang membuat isu-isu, yang sebenarnya tidak berdasarkan fakta. Hal-hal seperti ini kadang membuat saya stres. Namun, saya juga tak akan menyalahkan orang itu. Kalau sedang stres, emosi, keputusan yang diambil pun akan salah.
Lantas, apa yang Anda lakukan jika sedang stres?
Bukan saya sok beragama. Walau bagaimanapun, manusia itu cuma punya dua tangan. Maka, kadang malam hari saya berzikir. Kemudian, apa sih gunanya stres? Itu hanya akan membuat lingkungan sekitar menjadi tidak nyaman.
Sumber : warta ekonomi.com - 2006

Comments

Popular posts from this blog

Daftar Stasiun Kereta Api - Jalur Utara

Kalo di artikel sebelumnya kita bicara soal jalur selatan Kereta Api di Jawa, kali ini kita akan membahas mengenai jalur utara. Di jalur utara ini melintas kereta Argo Bromo Anggrek. Kereta ini dikenal sebagai raja di antara semua kereta api yang ada di Indonesia. Disebut raja karena ketika kereta api ini lewat, baik dari berlawanan arah atau arah yang sama, semua kereta akan berhenti untuk memberinya kesempatan berjalan terlebih dahulu. Mau tahu lintasan yang dilaluinya? Berikut ini disajikan nama-nama stasiun yang dilewati Kereta Api jika Anda bepergian menggunakan jalur utara (dari Gambir sampai dengan Surabaya Pasar Turi). Stasiun yang dicetak dengan huruf besar termasuk kategori staiun besar. GAMBIR Gondangdia Cikini Manggarai JATINEGARA Cipinang Klender Klender Baru Cakung Rawa Bebek Kranji BEKASI Tambun Cibitung Cikarang Lemah Abang Tanjung Baru Kedung Gedeh KERAWANG Klari Kosambi Dawuan CIKAMPEK Tanjung Rasa Pabuaran Pringkasep Pasir Bungur Cikaum Pagaden Baru Cipunegara Haurg

Daftar Stasiun Kereta Api - Jalur Selatan

Kita mungkin kenal dengan Jakarta, Cirebon, Purwokerto, Yogyakarta, Solo, Madiun, Surabaya. Ya, semua itu adalah nama kota di Jawa. Tapi tahukah Kaliwedi, Butuh, Luwung Gajah, Kemiri, Bagor? Saya yakin tidak semua orang mengenalnya. Jika Anda sering bepergian dengan Kereta Api melewati jalur selatan maka Anda akan menemukan stasiun dengan nama di atas. Dengan mengetahui perkiraan letaknya maka Anda bisa mengetahui posisi Anda sedang berada di dekat kota mana. Berikut ini disajikan nama-nama stasiun yang dilewati Kereta Api jika Anda bepergian melalui jalur selatan (dari Pasar Senen sampai dengan Surabaya Gubeng). Stasiun yang dicetak tebak terbasuk kategori stasiun besar. Tut tut tut ... PASAR SENEN Gangsentiong Kramat Pondok Jati JATINEGARA Cipinang Klender Buaran Klender Baru Cakung Rawabebek Kranji BEKASI Bekasi Timur Tambun Cibitung Telaga Murni Cikarang Lemahabang Kedunggedeh KERAWANG Klari Kosambi Dawuan CIKAMPEK Tanjung Rasa Pabuaran Pringkasap Pasirbungur Cikaum Pagaden B

Nyanyian Rindu Untuk Ibu - Ebiet G Ade

Tubuhmu yang terbungkuk tersandar lemah di kursi kayu tua jemari kurus terkulai menggenggam pena engkau goresan sajak sisa rambutmu perak tinggal sengeggam terbaca pahit kerasnya perjalanan nampakanya ingin kau tumpahkan seluruhnya di dalam puisi Dari alis matamu terbentuk garis guratan kokoh jiwa angin yang deras menghempas tak kau hiraukan batinmu kuat bertahan meskipun raga semakin rapuh tak pernah risau selalu tersimpul senyum sepantasnya kujadikan suri teladan potret perjuangan Oh-oh, ibu, ada yang ingin kutanyakan padamu hasil panen kemarin sesubur panenan yang kita petik bersama Oh-oh, ibu, apa kabar sawah kita sepetak masih bisakah kita tanami atau terendam ditelan zaman Setelah cucumu lahir aku lebih faham betapa beratnya membesarkan dan setia melindungi semua anak-anakmu kita yang selalu hidup sederhana kau sanggup mengasuh hingga kami dewasa dengarkankah nyanyian yang aku peruntukkan buatmu ibu....