Skip to main content

Sense Of Crisis

Sering kita dengar pernyataan “keluar dari comfort zone”. Sebenarnya makhluk apaan sih comfort zone? Suatu jenis minuman ringan, jajanan pasar atau apaan ya? Bagaimana sih penerapan pernyataan tadi? Mungkinkah hal itu dilakukan? Atau semuanya hanya merupakan angan-angan, sebuah missing link, bahkan hanya berupa mimpi saja? Semoga artikel dari Kompas, 23 Juni 2007 di bawah ini, bisa membantu memberi pencerahan pada kita.

Dalam artikel ini, ada tambahan komentar-komentar (dicetak dalam tanda kurung {} dan tambahan -bf). Ada beberapa komentar mungkin wajar namun beberapa yang lain dirasa satir atau nakal. Penjelasannya, setiap orang akan punya sisi Dr Jekyll dan Mr Hyde. Jadi harap maklum dan anggap saja sebagai hiburan supaya tidak bosan. Yang pasti artikel ini memberi banyak pelajaran untukku... Deal?

So, have a sit relax. Then read this article carefully…



Kita sama-sama sudah mengalami krisis ekonomi pada tahun 1997. Kita tahu betapa kerusuhan, hilangnya bisnis, hilangnya pekerjaan begitu mencekam dan menimbulkan ketidaknyamanan. Meninjau keadaan sekarang, banyak pihak mengatakan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang cepat lupa sehingga pulihnya keadaaan sering tidak diambil hikmahnya, tidak memberi lesson learned kepada individunya. Banyak bukti bahwa orang yang mengalami dampak krisis yang berat, juga tidak mengubah pola kerja, pola hidup dan pola pikirnya.

Ada yang berkomentar, mungkin kita terlahir sebagai bangsa yang “nyantai”, tidak pernah bergegas dan terburu-buru
{Right or right this is my country, bro. kok right or right sih? Apa pula maksudnya. Kalo gak isa englist jangan sok lah. Tuh kan ngeja english aja salah kok – bf}. Seorang eksekutif kenalan saya secara geregetan bertanya, “Bagaimana sih membangkitan sense of crisis di lingkungan sudah begitu nyaman begini?” Lah, untuk apa ada sense of crisis kalau sebenarnya tidak ada krisis? {Setuju! Dasar orang kurang kerjaan. Kalo bisa tolah toleh, main kartu apalagi tidur dibayar kenapa harus cari masalah? Kenapa harus pusing? Kenapa? Kenapa? Dasar orang aneh! – bf} Beliau dengan berang mengatakan, “Orang-orang sudah terlalu santai. Tidak antisipatif. Tidak ada inisiatif untuk perombakan” {Aduh!! Salah ngomong deh. Sori Pak-e, Bu-ne! Seharusnya dipikir dulu baru ngomong jangan ngomong dulu baru dipikir! Tapi ... Jadi inget cerita tentang Hem dan Haw. Nah lo kurcaci dari mana tuh? – bf}. Padahal situasi persaingan yang kita hadapi terkadang tidak masuk akal. Perang tarif, perubahan organisasi, pelanggan yang maunya macam-macam, gratisnya akses ke segala macam informasi, menyebabkan kita, apakah di dunia usaha atau sebagai profesional tidak bisa tinggal diam atau pun puas dengan kesuksesan masa lampau {Yup, kan ada peribahasanya “Yang lain pada berlari eh kamu malah kencing berdiri”. Tapi kapan ya peribahasa ini diciptakan? Waktu SD dulu yang ada kan “Guru kencing berdiri murid kencing di kamar mandi” - bf}.

Dalam ilmu change management kita kenal istilah burning platform, yang mengibaratkan keadaan panik bila anjungan minyak pengeboran terbakar. Dalam situasi itu, kita harus menyelamatkan diri sementara tidak tahu kemana harus menyelamatkan diri {Dasar orang gak melek K3. Kalo kebakaran ya ambil APAR ato hydrant, terus disemprot kok malah ditinggal lari? Nah, kalo gak bisa ditangani buruan ambil posisi lari sprint ke assembly point. Gitu aja kok repot - bf}. Dalam situasi ini ada dorongan yang sangat kuat untuk do something, tidak berdiam diri, apalagi berleha-leha {Oooo. Itu perumpamaan tho? Aku pikir kebakaran beneran. Dasar idiot - bf}.

“Kenyamanan” adalah jebakan

Siapa sih yang tidak merasa nyaman bila bekerja di perusahaan yang produknya dipasarkan besar-besaran? Rasanya janggal bila dalam keadaan seperti itu ditumbuhkan sense of crisis. Apalagi jika produk sudah bertahan selama, katakanlah seperti mobil Kijang, sudah 30 tahun. Dengan kemajuan perusahaan, tidak ada banjir, kebakaran atau bencana yang terlihat nyata, bonus tahunan selalu melimpah dan ditambah fasilitas eksekutif super mahal dan bergengsi, seperti keanggotaan klub eksekutif, memang akan sulit sekali untuk merasakan keadaaan “genting”.

Beberapa kali saya menyaksikan bahwa di perusahaan yang berlaba besar dan berproduk handal begini, manusianya banyak yang seolah terlena, kurang belajar, dan tidak dinamis. Bahayanya, bila ternyata perusahaan mengalami penurunan kinerja yang baru disadari tiba-tiba, biasanya tenaga kerja tidak siap untuk berjuang melawan keterpurukan. {Wah wah gawat donk? Tapi itu kan berarti kita tidak optimis. Kalo apa-apa sudah dilihat keterpurukannya, orang gak maju-maju bos! Hidup itu harus optimis! Whahaha. Kok malah ketawa? Ada yang aneh? Gila kali ?!?!? - bf}

Berteman dengan “Brutal Facts

Disadari atau tidak, banyak terjadi gejala “kill the messenger of bad news”. Orang-orang yang mengungkapkan brutal facts seperti gejala malpraktik, pelanggaran etika, mensinyalir inefisiensi dan inevektivitas yang bahkan mengarah pada kecurangan bukan sekedar ditelantarkan, tetapi seolah diserang balik {Eit, jangan salah. Itu namanya DIBINA…sakan. Tapi mungkin bener juga ya? Kan ada yang bilang kalo ada satu orang gila di antara banyak orang waras yang satu itu bakal dianggap gila. Terus kalo ada satu orang waras di antara banyak orang gila, yang satu tetap dianggap gila. Sekarang yang jadi masalah siapa sih yang gila? Yang kasih komentar kali ya? - bf}. Sesungguhnya open door policy para CEO adalah inisiatif yang baik terutama kalau para CEO benar-benar meluangkan waktu untuk menerima, mencerna dan mengolah keluhan sampai kepada tindakan perbaikan. Open door policy ini akan tidak mempan bila ternyata hanya jadi basa basi CEO saja {No comment dah. Masalah SARA nih. Salah omong bisa kena dakwaaan subversive nih - bf}.

Di era kompetisi seperti sekarang, kita juga wajib menyebarkan data kepuasan pelanggan kepada karyawan. Sebuah perusahaan terkenal di Indonesia, bahkan mengharuskan setiap karyawan bertemu muka dengan pelanggan dan mewawancara kesan pelanggan terhadap produk mereka {SETUJU tapi … kalo dipikir lagi repot juga kalo ini dilakuin ama perusahaan yang konsumennya ayam, bebek, babi, kuda ato bahkan onta. Suwer! Bukan apa-apa sih. Bingung cara tanyanya - bf}. Tidak jarang didapatkan brutal facts sebagai umpan balik yang kita terperangah dan bangkit dari dari kenyamanan {Gimana mau dapet brutal facts? Emangnya Tarzan? Bisa ngomong sama ayam, babi ato onta? Sudah dikasih tahu kok ngeyel. Tapi... kalo dipikir- pikir, konsumennya si ayam ato orang ya? Mestinya si ayam deh. Kan dia yang makan!! Selama ini si ayam gak pernah protes kok! Tapi... Gimana mau protes ya? Kan yang ngeluarin uang bukan si ayam? Mosok sudah dapat gratisan, protes lagi. Waduh jadi malu sama ayam deh.:( – bf}.

Bisakah “Menciptakan” Kewaspadaan?

Terkadang ada juga manajemen yang tidak suka menyebarkan “kecemasan” ke “bawah” karena mengkhawatirkan komitmen bawahan, bila merasakan kecemasan tersebut {Nah lho... Kok bicara komitmen sih? Kan sudah ada loyalitas? Tapi omong-omong bedanya apa ya? Tauk ah gelap - bf}. Yang ada adalah anak buah dininabobokan oleh happy talk dari manajemen.

Data mengenai analisa keuangan yang mendetail adalah informasi pahit yang juga bisa memecut karyawan untuk waspada. Walaupun perusahaan melaba, tetap ada aspek-aspek yang perlu dikembangkan. Membuat tantangan-tantangan mikro seperti memperbaiki service level agreement, key performance indicator, meningkatkan kelancaran arus khas adalah hal yang relatif mudah, tapi bersama-sama menanggung konsekuensinya lah yang tidak mudah dilaksanakan {Nah lo lagie... Kok seenaknya kita disuruh nanggung konsekuensi. Kalo konsekuensi bisa dilempar, kenapa gak dilempar supaya jadi lingkaran setan sekalian. Kan tinggal menyuruh anak buah buat surat pernyataan bahwa dia melakukan semua kesalahan tanpa sepengetahuan atasan. Kalau sampai ada anak buah yang minta bukti tertulis sebelum melakukan sesuatu kan tinggal bilang EMANG KAMU GAK PERCAYA SAMA SAYA? Whahaha. Kok malah ketawa lagi? Ada yang aneh? Gila beneran ya ?!?!? - bf}. Kita sudah kenal sistem pengupahan di banyak perusahaan yang me–reward karyawan bila target individu, tim maupun organisasi tercapai dengan baik, tetapi tidak memberi punishment apapun bila target tidak tercapai. Situasi ini serta merta akan menurunkan adrenalin karyawan. {Eh, tapi omong-omong yang nerapin kebalikan dari prinsip ini, ada gak ya? Efeknya kelihatannya sama tuh bahkan lebih menguntungkan lo. Wah gak gaul abis deh penulisnya. - bf}.

Keadaan status quo atau keadaan yang menantang sebetulnya adalah pilihan. Perusahaan yang progresif tentunya bisa mengomunikasikan kesempatan-kesempatan di masa datang yang bisa diraih perusahaan serta ancaman-ancaman yang ada di masa depan kalau seluruh barisan tidak mempunyai mindset yang diwarnai kewaspadaan {Nah apa gue bilang OPTIMIS BUNG!!!! optimis mis … mis … … Lho tanda pentungnya kok menghilang dan tinggal gaungnya saja, ya? Auk ah gelap lagie deh - bf}.

Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Experd

Comments

Popular posts from this blog

Daftar Stasiun Kereta Api - Jalur Utara

Kalo di artikel sebelumnya kita bicara soal jalur selatan Kereta Api di Jawa, kali ini kita akan membahas mengenai jalur utara. Di jalur utara ini melintas kereta Argo Bromo Anggrek. Kereta ini dikenal sebagai raja di antara semua kereta api yang ada di Indonesia. Disebut raja karena ketika kereta api ini lewat, baik dari berlawanan arah atau arah yang sama, semua kereta akan berhenti untuk memberinya kesempatan berjalan terlebih dahulu. Mau tahu lintasan yang dilaluinya? Berikut ini disajikan nama-nama stasiun yang dilewati Kereta Api jika Anda bepergian menggunakan jalur utara (dari Gambir sampai dengan Surabaya Pasar Turi). Stasiun yang dicetak dengan huruf besar termasuk kategori staiun besar. GAMBIR Gondangdia Cikini Manggarai JATINEGARA Cipinang Klender Klender Baru Cakung Rawa Bebek Kranji BEKASI Tambun Cibitung Cikarang Lemah Abang Tanjung Baru Kedung Gedeh KERAWANG Klari Kosambi Dawuan CIKAMPEK Tanjung Rasa Pabuaran Pringkasep Pasir Bungur Cikaum Pagaden Baru Cipunegara Haurg

Daftar Stasiun Kereta Api - Jalur Selatan

Kita mungkin kenal dengan Jakarta, Cirebon, Purwokerto, Yogyakarta, Solo, Madiun, Surabaya. Ya, semua itu adalah nama kota di Jawa. Tapi tahukah Kaliwedi, Butuh, Luwung Gajah, Kemiri, Bagor? Saya yakin tidak semua orang mengenalnya. Jika Anda sering bepergian dengan Kereta Api melewati jalur selatan maka Anda akan menemukan stasiun dengan nama di atas. Dengan mengetahui perkiraan letaknya maka Anda bisa mengetahui posisi Anda sedang berada di dekat kota mana. Berikut ini disajikan nama-nama stasiun yang dilewati Kereta Api jika Anda bepergian melalui jalur selatan (dari Pasar Senen sampai dengan Surabaya Gubeng). Stasiun yang dicetak tebak terbasuk kategori stasiun besar. Tut tut tut ... PASAR SENEN Gangsentiong Kramat Pondok Jati JATINEGARA Cipinang Klender Buaran Klender Baru Cakung Rawabebek Kranji BEKASI Bekasi Timur Tambun Cibitung Telaga Murni Cikarang Lemahabang Kedunggedeh KERAWANG Klari Kosambi Dawuan CIKAMPEK Tanjung Rasa Pabuaran Pringkasap Pasirbungur Cikaum Pagaden B

Nyanyian Rindu Untuk Ibu - Ebiet G Ade

Tubuhmu yang terbungkuk tersandar lemah di kursi kayu tua jemari kurus terkulai menggenggam pena engkau goresan sajak sisa rambutmu perak tinggal sengeggam terbaca pahit kerasnya perjalanan nampakanya ingin kau tumpahkan seluruhnya di dalam puisi Dari alis matamu terbentuk garis guratan kokoh jiwa angin yang deras menghempas tak kau hiraukan batinmu kuat bertahan meskipun raga semakin rapuh tak pernah risau selalu tersimpul senyum sepantasnya kujadikan suri teladan potret perjuangan Oh-oh, ibu, ada yang ingin kutanyakan padamu hasil panen kemarin sesubur panenan yang kita petik bersama Oh-oh, ibu, apa kabar sawah kita sepetak masih bisakah kita tanami atau terendam ditelan zaman Setelah cucumu lahir aku lebih faham betapa beratnya membesarkan dan setia melindungi semua anak-anakmu kita yang selalu hidup sederhana kau sanggup mengasuh hingga kami dewasa dengarkankah nyanyian yang aku peruntukkan buatmu ibu....