Skip to main content

Pam Swakarsa: Aktor atau Korban?

Jumat petang, 13 November. Sebelum tragedi berdarah membasahi Jembatan Semanggi, sebuah drama lain menyergap Jembatan Cawang, Jakarta Timur.

Peristiwanya bermula ketika sekitar 30 orang--rata-rata bertubuh gempal, berwajah keras, dan berikat kepala hijau--menghadang ratusan mahasiswa yang tengah berarak menuju Gedung DPR/MPR Senayan. Sekelompok orang sipil itu, yang belakangan ini populer dengan sebutan Pasukan Pengamanan (Pam) Swakarsa, bersiaga di depan barikade polisi dan tentara, menyerupai tameng.

Bukan mahasiswa rupanya yang harus mereka hadapi, melainkan ribuan massa. Dengan satu teriakan, "Pam Swakarsa.... Tangkap!" warga setempat yang semula hanya menonton seperti dikomando: melempari orang-orang berikat kepala itu dengan batu. Mereka sempat membalas dengan lemparan batu pula, seraya mengacung-acungkan badik. Tapi, menyadari jumlahnya terlalu sedikit, mereka lari kocar-kacir.

Tak semua selamat

Lima dari mereka terjebak di sebuah tanah lapang berawa-rawa tak jauh dari jembatan itu, di tengah kepungan massa yang bersenjatakan kayu, batu, dan besi. Tinju, tendangan, pukulan kayu, dan besi serta hunjaman batu menghajar mereka. Dua orang dilarikan ke rumah sakit setelah babak belur. Tiga lainnya tidak terselamatkan: wajah mereka hampir lumat sulit dikenali, ada yang isi kepalanya terburai, ada yang biji matanya dicukil.

Sia-siakah kematian mereka? Tidak bagi kalangan tertentu. "Itulah risiko perjuangan," kata Faisal Biki, salah satu Ketua Forum Umat Islam untuk Keadilan dan Konstitusi (Furkon), ketika menengok jasad-jasad rusak itu di rumah sakit. Faisal adalah adik Amir Biki, tokoh Islam yang tewas dalam kasus Tanjungpriok 1984. Adapun Furkon adalah salah satu organisasi pengerah massa paling menonjol dalam kegiatan Pam Swakarsa ini. 

Bagi kalangan selebihnya, mereka yang tewas itu tak akan banyak dikenang, kecuali mungkin sebagai kenangan buruk: tentang "pasukan" yang kontroversial. Mereka akan dikenang juga sebagai bagian dari rangkaian kekerasan, yang mencatat sidang MPR kali ini paling berdarah sepanjang sejarahnya.

Peristiwa dramatis di Cawang itu sebenarnya bisa dihindari. Beberapa hari sebelumnya, sejumlah tokoh--termasuk para penanda tangan Deklarasi Ciganjur--mengimbau agar Pam Swakarsa ditarik, bahkan dibubarkan. Di berbagai pojok Jakarta ketika itu, memang telah terjadi beberapa insiden terbuka antara pasukan keamanan "tak resmi" itu dan mahasiswa atau masyarakat. Sayang, imbauan itu tak dipenuhi para petinggi ABRI. 

Padahal, jika peristiwa Cawang bisa dihindari, jatuhnya lebih banyak korban barangkali bisa dihindari. Di seputar jembatan terkenal itu pada malam harinya, di samping empat mahasiswa tewas oleh peluru aparat keamanan, satu lagi anggota Pam Swakarsa roboh tanpa nyawa akibat keroyokan massa.

Inikah "perjuangan" yang dimaksud oleh Faisal Biki? Jawabnya bisa "ya". 

Meski sebagian anggotanya tewas, Faisal menganggap misinya berhasil. "Sidang Istimewa MPR toh sukses berlangsung," katanya kepada TEMPO. Tentulah peran Furkon tak terpisahkan dalam sudut pandang Faisal.  

Susana politik menjelang SI memang dipanaskan oleh retorika yang menajam antara kelompok pro-SI dan anti-SI. Sekitar sebulan sebelum penyelenggaraan, Ketua Barisan Nasional (Barnas) Kemal Idris mengejutkan banyak orang dengan seruannya kepada para mahasiswa agar berdemonstrasi "menjatuhkan Habibie" dan menggantikannya dengan sebuah presidium. Bagi Barnas, kelompok yang dimotori terutama oleh para purnawirawan kritis, Habibie tidak bisa dipercaya menyelenggarakan pemilu yang jujur dan adil, sedangkan SI tak ada artinya jika semua anggota masih orang Orde Baru.

Sikap Barnas tersebut didendangkan secara lebih nyaring di jalanan oleh sejumlah mahasiswa, terutama yang tergabung dalam Forum Kota (Forkot) dan Front Aksi Mahasiswa untuk Reformasi dan Demokrasi (Famred). Menjelang SI, mereka memang secara terang-terangan menyatakan sumpah untuk menggagalkannya.

Reaksi keras datang dari kalangan Islam, bahkan termasuk dari Amien Rais, tokoh Muhammadiyah yang kini menjadi Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN). Hampir semua ormas Islam memiliki pandangan yang umumnya sama, bahwa SI merupakan tahap penting menuju Pemilu 1999, yang diharapkan menjadi tonggak untuk mengayuh demokratisasi dan reformasi berikutnya. Bahkan ini pun sebenarnya bukan pandangan khas Islam. 

Meski begitu mereka umumnya memberikan dukungan bersyarat. Ada beragam nuansa, tapi dua hal menyatukan semua kelompok pendukung SI: adili Soeharto dan cabut dwifungsi ABRI--dua tema yang sebenarnya juga menjadi tuntutan Forkot maupun Famred.

Akan halnya soal pemerintahan Habibie, meski menyatakan banyak hal harus disempurnakan, ormas-ormas Islam umumnya sepakat melihatnya sebagai pemerintahan transisi sampai pemilu berlangsung. Pandangan seperti itu secara eksplisit pernah dikemukakan oleh Abdurrahman Wahid. 

Furkon adalah kelompok yang menyambut sesumbar Forkot dan Famred dengan sumpah yang tak kalah kerasnya di jalanan: "berjihad untuk menyukseskan SI" dan menyebut kelompok anti-SI sebagai "tidak konstitusional". Mereka bahkan menyatakan, "Siapa menentang SI, dia menentang Islam".

Dari situ puluhan ribu anggota Pam Swakarsa berkumpul dari Jakarta seputar SI lalu itu. Tidak semuanya datang dari kalangan Islam. Pemuda Pancasila, Pemuda Pancamarga, dan Warga Wijaya Indonesia bermarkas dalam kompleks Gedung DPR/MPR. Namun jumlah yang lebih banyak, yang bermarkas di Masjid Istiqlal dan Masjid Al Banna, Senayan, jelas datang dari kalangan Islam. Mereka tak hanya berasal dari wilayah Jabotabek, melainkan  dari daerah lain seperti Banten, Bandung, Pandeglang, Yogyakarta, Surabaya, dan Madura. 

Sebagian dari mereka memang mengaku berpartisipasi karena tersentuh sentimen Islamnya. Kepada TEMPO, beberapa  anggota Pam Swakarsa yang bentrok dengan massa di Tugu Proklamasi, Jakarta, mengaku datang dari Banten. Mereka "siap berjihad untuk melawan mahasiswa komunis yang didukung oleh kelompok non-Islam seperti CSIS, Benny Moerdani, dan Sofyan Wanandi". Belakangan mereka dibuat bingung ketika sebagian demonstran ternyata meneriakkan "Allahu Akbar" dan bersembahyang di jalanan jika masuk waktu salat.

Sebagian anggota Pam Swakarsa berpartisipasi karena diundang untuk tahlilan wafatnya Ketua MUI K.H. Hasan Basri, meskipun tempatnya agak aneh: Tugu Proklamasi. Lainnya lagi, sekelompok santri mengaku diundang untuk menghadiri tablig akbar di Senayan ketika demonstrasi mahasiswa sedang mencapai klimaks. Mereka hampir saja celaka dikeroyok massa.

Namun sebagian besar peserta Pam Swakarsa tampaknya punya motif yang tak ada hubungannya dengan agama atau politik, melainkan "bisnis". Beberapa orang secara terus terang mengaku berpartisipasi karena memperoleh uang saku, sementara mereka tak punya pekerjaan.

Proses rekrutmennya juga tampak "membabi-buta". Seorang penjual minuman di lingkungan Masjid Istiqlal mengaku diminta mencari calon anggota Pam Swakarsa. Dia mengaku memperoleh seratus orang. Di kawasan Kalipasir, Jakarta Pusat, seorang pengangguran mengaku turut serta setelah usai salat Jumat, ia menerima pembagian nasi bungkus gratis, kemudian  diminta mengisi formulir pendaftaran Pam Swakarsa.

Andai saja massa yang terkumpul sekadar dikerahkan untuk berdemonstrasi mendukung SI, mungkin masalahnya tidak terlampau runyam. Demo pro atau anti suatu event politik--bahkan jika mereka didanai oleh orang lain--adalah soal wajar di alam demokrasi.

Masalahnya menjadi rumit ketika Pam Swakarsa itu ternyata tak menyampaikan aspirasi. Konsep Pam sederhana: bertugas melawan demonstran mahasiswa. Mereka dipersenjatai dengan bambu yang banyak di antaranya diruncingkan salah satu ujungnya. Dan dengan restu terbuka atau terselubung dari Panglima ABRI dan aparat keamanan, mereka bertindak dengan bebasnya.

Lihat saja apa yang didapat Munir dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras). Ia menyerahkan barang bukti kepada polisi: 40 bambu runcing dari kawasan Taman Ismail Marzuki, 132 bambu runcing dari Tugu Proklamasi, sebuah samurai, satu batang besi bengkok, empat ikat kepala, dan selembar saputangan.

Mereka tak hanya "mengamankan" Gedung DPR/MPR Senayan, tapi juga dikirimkan dengan truk-truk ke lokasi yang potensial menjadi daerah demonstrasi dan orasi mahasiswa, seperti Tugu Proklamasi atau Taman Ismail Marzuki. Mereka juga berunjuk kekuatan dengan berpawai melintasi kampus-kampus yang aktif. Mereka bahkan melakukan patroli malam diiringi dengan sedan polisi. Di lingkungan Senayan mereka beraksi menghalau para pejalan kaki dan pengendara sepeda motor yang lewat.

Yang lebih menarik, ketika mahasiswa dan aparat keamanan berhadap-hadapan, tiba-tiba "pasukan swasta" itu datang, lalu berbaris di depan barikade aparat, menyerupai tameng seperti dalam peristiwa Cawang. Seperti ini juga yang terjadi di Semanggi.

Benarkah mereka dimanfaatkan sebagai bagian dari strategi aparat keamanan dalam menghentikan demonstrasi mahasiswa? Benarkah militer pula yang membiayai dan mendatangkan mereka?

Faisal Biki menyebut secara eksplisit dua nama pejabat tinggi yang mendanai mereka: Pangab Jenderal TNI Wiranto dan Wakil DPR/MPR Abdul Gafur. Namun, kepada TEMPO, kedua pejabat tersebut membantah keras merekayasa munculnya Pam Swakarsa ini.

Siapa benar? Entah. Namun ada indikasi lain keterlibatan militer dalam kasus ini. Seorang sumber TEMPO di kalangan Furkon mengaku mengikuti beberapa pertemuan persiapan Pam Swakarsa yang dihadiri oleh seorang jenderal. Dari nada bicara sang jenderal, sumber tadi menyimpulkan pimpinan ABRI tampak nervous menghadapi gelombang demonstrasi mahasiswa seputar SI. "ABRI sedang disorot oleh banyak kalangan di dalam negeri maupun secara internasional. Mereka tak ingin membuat kesalahan dengan menghadapi langsung para mahasiswa," kata sumber itu.

Jika hal itu benar, ABRI telah membuat kesalahan lain. Membiarkan dan bahkan mendukung kalangan sipil tertentu untuk menjalankan kewajiban pengamanan bersenjata adalah sebuah penyelewengan hukum yang berbahaya. Terbukti salah hitung pula: bukan mahasiswa menjadi takut, Pam Swakarsa malah mengundang kemarahan rakyat. Ironisnya, anak-anak muda Pam itu akhirnya tewas akibat keroyokan massa tanpa ada aparat yang melindungi mereka.

Tapi konsep Pam Swakarsa ini sebenarnya bukan barang baru. Sepanjang Orde Baru, terutama pada era Ali Moertopo, cara-cara mengerahkan pasukan sipil yang bersifat adu domba itu banyak dilakukan, khususnya untuk "mengamankan" pemilu yang ujung-ujungnya memenangkan Golkar.

Menurut Hariman Siregar, demonstran dalam peristiwa Malari 1974,  cara serupa juga dipakai dalam kerusuhan yang akhirnya membuat dia ditahan. Massa di sini tidak digunakan untuk melawan mahasiswa, tapi untuk menimbulkan kebakaran dan kerusuhan yang membuat aparat keamanan punya dalih menangkap mahasiswa. Bahkan cara itu, menurut Hariman, juga sudah dipakai oleh Rezim Soekarno. "Pada 1966, muncul pasukan sipil yang dikenal dengan Barisan Soekarnois, sebagai tandingan dari KAMI," katanya.

Bagi kalangan Islam, khususnya politisi Islam, tragedi Pam Swakarsa ini juga bisa menjadi pelajaran penting. Rektor IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Azyumardi Azra, bisa memahami munculnya reaksi di kalangan umat Islam tertentu yang menilai upaya menggagalkan SI sebagai sesuatu yang sulit ditoleransi. "Saya melihat apa yang dilakukan sebagian orang Islam itu sebagai counter-reaction terhadap kalangan-kalangan yang akan berusaha dengan cara apa pun untuk menggagalkan SI, terutama melalui pengerahan massa demonstrasi," katanya. Namun, yang dilakukan sebagian umat Islam itu telah menjadi over-reaktif, di luar proporsi, dan bahkan memperburuk citra Islam sendiri.

Penajaman sentimen agama, menurut Azra, juga jauh dari konteks jika orang berbicara tentang politik Indonesia dewasa ini. Dalam kasus pro-kontra SI, misalnya, pandangan kelompok seperti Furkon akan banyak mirip dengan kalangan non-Islam yang juga mendukung SI, atau kalangan demonstran mahasiswa tertentu yang menyetujui SI tapi dengan syarat.

"Pemilahan kekuatan politik sekarang bukan antaragama," kata Azra. "Tokoh-tokoh di Barisan Nasional itu kan banyak juga orang Islam yang taat. Ada Kemal Idris, ada Sri Edi Swasono, Sri Bintang, itu kan malah orang yang dulunya dikenal sangat kuat orientasi Islamnya. Perbedaan yang ada sekarang lebih pada orientasi politik. Yang satu lebih menekankan "kesabaran" dan memilih menunggu pemilu untuk mengganti pemimpin nasional.  Tapi yang lain mungkin kurang sabar, sehingga menuntut Habibie diganti dengan presidium sekarang juga."

Perbedaan pandangan politik lumrah saja. Tapi ketika korban nyawa harus jatuh di kelompok pro-SI dan anti-SI, kita harus bertanya: untuk apa semua ini terjadi? Kepada siapa kesalahan harus ditimpakan? Tentu kepada mereka yang dengan "kuasanya" menggerakkan kelompok pengaman partikelir ini, dan mereka yang segera "cuci tangan" ketika korban tewas jatuh di kalangan anak-anak muda yang hanya butuh pekerjaan ini.

Sumber Tempo : 24 November 1998

Comments

Popular posts from this blog

Daftar Stasiun Kereta Api - Jalur Utara

Kalo di artikel sebelumnya kita bicara soal jalur selatan Kereta Api di Jawa, kali ini kita akan membahas mengenai jalur utara. Di jalur utara ini melintas kereta Argo Bromo Anggrek. Kereta ini dikenal sebagai raja di antara semua kereta api yang ada di Indonesia. Disebut raja karena ketika kereta api ini lewat, baik dari berlawanan arah atau arah yang sama, semua kereta akan berhenti untuk memberinya kesempatan berjalan terlebih dahulu. Mau tahu lintasan yang dilaluinya? Berikut ini disajikan nama-nama stasiun yang dilewati Kereta Api jika Anda bepergian menggunakan jalur utara (dari Gambir sampai dengan Surabaya Pasar Turi). Stasiun yang dicetak dengan huruf besar termasuk kategori staiun besar. GAMBIR Gondangdia Cikini Manggarai JATINEGARA Cipinang Klender Klender Baru Cakung Rawa Bebek Kranji BEKASI Tambun Cibitung Cikarang Lemah Abang Tanjung Baru Kedung Gedeh KERAWANG Klari Kosambi Dawuan CIKAMPEK Tanjung Rasa Pabuaran Pringkasep Pasir Bungur Cikaum Pagaden Baru Cipunegara Haurg

Daftar Stasiun Kereta Api - Jalur Selatan

Kita mungkin kenal dengan Jakarta, Cirebon, Purwokerto, Yogyakarta, Solo, Madiun, Surabaya. Ya, semua itu adalah nama kota di Jawa. Tapi tahukah Kaliwedi, Butuh, Luwung Gajah, Kemiri, Bagor? Saya yakin tidak semua orang mengenalnya. Jika Anda sering bepergian dengan Kereta Api melewati jalur selatan maka Anda akan menemukan stasiun dengan nama di atas. Dengan mengetahui perkiraan letaknya maka Anda bisa mengetahui posisi Anda sedang berada di dekat kota mana. Berikut ini disajikan nama-nama stasiun yang dilewati Kereta Api jika Anda bepergian melalui jalur selatan (dari Pasar Senen sampai dengan Surabaya Gubeng). Stasiun yang dicetak tebak terbasuk kategori stasiun besar. Tut tut tut ... PASAR SENEN Gangsentiong Kramat Pondok Jati JATINEGARA Cipinang Klender Buaran Klender Baru Cakung Rawabebek Kranji BEKASI Bekasi Timur Tambun Cibitung Telaga Murni Cikarang Lemahabang Kedunggedeh KERAWANG Klari Kosambi Dawuan CIKAMPEK Tanjung Rasa Pabuaran Pringkasap Pasirbungur Cikaum Pagaden B

Nyanyian Rindu Untuk Ibu - Ebiet G Ade

Tubuhmu yang terbungkuk tersandar lemah di kursi kayu tua jemari kurus terkulai menggenggam pena engkau goresan sajak sisa rambutmu perak tinggal sengeggam terbaca pahit kerasnya perjalanan nampakanya ingin kau tumpahkan seluruhnya di dalam puisi Dari alis matamu terbentuk garis guratan kokoh jiwa angin yang deras menghempas tak kau hiraukan batinmu kuat bertahan meskipun raga semakin rapuh tak pernah risau selalu tersimpul senyum sepantasnya kujadikan suri teladan potret perjuangan Oh-oh, ibu, ada yang ingin kutanyakan padamu hasil panen kemarin sesubur panenan yang kita petik bersama Oh-oh, ibu, apa kabar sawah kita sepetak masih bisakah kita tanami atau terendam ditelan zaman Setelah cucumu lahir aku lebih faham betapa beratnya membesarkan dan setia melindungi semua anak-anakmu kita yang selalu hidup sederhana kau sanggup mengasuh hingga kami dewasa dengarkankah nyanyian yang aku peruntukkan buatmu ibu....