Artikel dari Kompas ini membuatku jadi speechless, malu pada diri sendiri!
SEJAK lulus sekolah menengah, Oen Boen Ing sudah ingin mempelajari ilmu kedokteran Barat dan menjadi seorang dokter. Sayang, seluruh keluarganya menentang keras. “Jangan sekali-kali jadi dokter karena kamu nanti pasti hanya sibuk mencari kekayaan dengan membebani orang sakit.” Meskipun menghadapi kendala tersebut, Oen kecil nekat mendaftar ke School tot Opleiding van Inlandsche Arsten (STOVIA) di Batavia, kini Jakarta. Ia lulus tahun 1932 berbarengan dengan Prof Dr Slamet Iman Santosa.
Tetapi, apa yang mengilhami anak saudagar tembakau kaya raya tersebut kemudian tumbuh menjadi sosok dokter sederhana, sosiawan, dermawan, dan sangat merakyat?
Ternyata, sejak kecil Boen Ing mengagumi kakeknya, seorang sinshe ahli pengobatan tradisional Tionghoa, yang tak pernah mau menerima ongkos. Oleh karena sangat terkesan dengan teladan sang kakek, setelah menyelesaikan pendidikan dokter dan memulai praktik di Solo, Jawa Tengah, Boen Ing mengikuti jejak yang sama. Bedanya, dia membuka praktik pengobatan cara Barat.
“Tugas seorang dokter menyembuhkan orang sakit, tidak ada yang lain.” Berpijak kepada falsafah ini, Boen Ing menyebarkan kebahagiaan dengan memberikan layanan kesehatan kepada semua yang membutuhkan, untuk segenap lapisan masyarakat, tanpa pernah membedakan kelompok etnik, suku, agama, serta tingkat sosialnya.
Bahkan, ongkos periksa dia serahkan secara sukarela kepada para pasien, dengan cara mengisi (atau tidak mengisi) sendiri kotak uang di ruang praktik. Salah satu keunikan lain yang diperlihatkan Boen Ing, sebelum marak praktik dokter 24 jam seperti sekarang, dia selalu membuka praktik sejak pukul tiga dini hari. Pernah hal ini saya tanyakan dan jawabannya, “Apa kamu tak ingat, saya kan dilahirkan tanggal 3 bulan 3 dan tahun 1903. Maka semua karya saya sebaiknya dimulai dengan angka 3.”
Jangan heran kalau dulu nomor telepon rumahnya 3333 dan bangunan rumah sakit pertama di Kandang Sapi, Solo, yang dia dirikan (kini RS Dr Oen Surakarta) namanya Triganda serta diresmikan pada tanggal 3 Maret 1963.
“SAYA, seperti halnya semua saudara saya, dilahirkan dengan bantuan dokter Oen,” kata Sri Mangkunegoro IX yang kini memimpin Pura Mangkunegaran Solo. “Begitu lahir, dalam akta kelahiran, di depan nama saya malah sudah langsung diberi tambahan nama Wu Yi. Kata bahasa Tionghoa dengan arti lima puluh satu, karena saya dilahirkan tahun 1951 sehingga nama saya dulu Wu Yi Sudjiwo….”
Tetapi, akhirnya Sudjiwo tidak jadi diambil anak oleh Dr Oen sebagaimana dalam gagasan awal. Oleh karena sesudah si anak meningkat dewasa, dalam pertemuan kekeluargaan di Istana Mangkunegaran (meskipun hidup perkawinan Oen Boen Ing-Corrrie Djie Oen tidak dikaruniai keturunan), Dr Oen kemudian rela melepas keinginannya memungut Sudjiwo sebagai anak angkat. Sikapnya yang selalu pasrah dan tetap memberikan pelayanan tanpa pamrih dianugerahi pemerintah, Satya Lencana Bakti Sosial, tahun 1976. Sedangkan posisinya sebagai dokter di Pura Mangkunegaran sejak tahun 1944 oleh Sri Mangkunegoro VIII diberi penghargaan gelar dan nama baru, Kanjeng Raden Tumenggung Oen Boen Ing Darmohusodo.
Akhir Januari 1993, sesudah tutup usia, gelar tersebut oleh Sudjiwo yang kini bergelar Mangkunegoro IX dinaikkan menjadi Kanjeng Raden Mas Tumenggung Haryo OBI Darmohusodo. Namun, penghargaan paling bermakna mungkin justru dari beragam lapisan masyarakat di Solo yang pernah menerima sentuhan kesembuhan dan karyanya. Semangat pengabdian tulus yang diberikan Oen Boen Ing tanpa pamrih.
Sebagaimana dikemukakan Wiwik Siswardi, perawat yang berjaga di kamar bersalin sejak tahun 1975, “…beda sekali dibandingkan dokter-dokter sekarang. Beliau baik, pengabdiannya besar, kepedulian sosialnya besar. Orang-orang miskin berani datang berobat karena tidak diharuskan membayar. Pasien yang tak mampu tetap diberi resep, disuruh ke apotek, obatnya dibayar Dr Oen.…” Semangat pengabdian semacam ini yang sewajarnya terus dijadikan teladan oleh setiap orang yang sudah memilih jalan sebagai pelayan kesehatan.
Tetapi, apa yang mengilhami anak saudagar tembakau kaya raya tersebut kemudian tumbuh menjadi sosok dokter sederhana, sosiawan, dermawan, dan sangat merakyat?
Ternyata, sejak kecil Boen Ing mengagumi kakeknya, seorang sinshe ahli pengobatan tradisional Tionghoa, yang tak pernah mau menerima ongkos. Oleh karena sangat terkesan dengan teladan sang kakek, setelah menyelesaikan pendidikan dokter dan memulai praktik di Solo, Jawa Tengah, Boen Ing mengikuti jejak yang sama. Bedanya, dia membuka praktik pengobatan cara Barat.
“Tugas seorang dokter menyembuhkan orang sakit, tidak ada yang lain.” Berpijak kepada falsafah ini, Boen Ing menyebarkan kebahagiaan dengan memberikan layanan kesehatan kepada semua yang membutuhkan, untuk segenap lapisan masyarakat, tanpa pernah membedakan kelompok etnik, suku, agama, serta tingkat sosialnya.
Bahkan, ongkos periksa dia serahkan secara sukarela kepada para pasien, dengan cara mengisi (atau tidak mengisi) sendiri kotak uang di ruang praktik. Salah satu keunikan lain yang diperlihatkan Boen Ing, sebelum marak praktik dokter 24 jam seperti sekarang, dia selalu membuka praktik sejak pukul tiga dini hari. Pernah hal ini saya tanyakan dan jawabannya, “Apa kamu tak ingat, saya kan dilahirkan tanggal 3 bulan 3 dan tahun 1903. Maka semua karya saya sebaiknya dimulai dengan angka 3.”
Jangan heran kalau dulu nomor telepon rumahnya 3333 dan bangunan rumah sakit pertama di Kandang Sapi, Solo, yang dia dirikan (kini RS Dr Oen Surakarta) namanya Triganda serta diresmikan pada tanggal 3 Maret 1963.
“SAYA, seperti halnya semua saudara saya, dilahirkan dengan bantuan dokter Oen,” kata Sri Mangkunegoro IX yang kini memimpin Pura Mangkunegaran Solo. “Begitu lahir, dalam akta kelahiran, di depan nama saya malah sudah langsung diberi tambahan nama Wu Yi. Kata bahasa Tionghoa dengan arti lima puluh satu, karena saya dilahirkan tahun 1951 sehingga nama saya dulu Wu Yi Sudjiwo….”
Tetapi, akhirnya Sudjiwo tidak jadi diambil anak oleh Dr Oen sebagaimana dalam gagasan awal. Oleh karena sesudah si anak meningkat dewasa, dalam pertemuan kekeluargaan di Istana Mangkunegaran (meskipun hidup perkawinan Oen Boen Ing-Corrrie Djie Oen tidak dikaruniai keturunan), Dr Oen kemudian rela melepas keinginannya memungut Sudjiwo sebagai anak angkat. Sikapnya yang selalu pasrah dan tetap memberikan pelayanan tanpa pamrih dianugerahi pemerintah, Satya Lencana Bakti Sosial, tahun 1976. Sedangkan posisinya sebagai dokter di Pura Mangkunegaran sejak tahun 1944 oleh Sri Mangkunegoro VIII diberi penghargaan gelar dan nama baru, Kanjeng Raden Tumenggung Oen Boen Ing Darmohusodo.
Akhir Januari 1993, sesudah tutup usia, gelar tersebut oleh Sudjiwo yang kini bergelar Mangkunegoro IX dinaikkan menjadi Kanjeng Raden Mas Tumenggung Haryo OBI Darmohusodo. Namun, penghargaan paling bermakna mungkin justru dari beragam lapisan masyarakat di Solo yang pernah menerima sentuhan kesembuhan dan karyanya. Semangat pengabdian tulus yang diberikan Oen Boen Ing tanpa pamrih.
Sebagaimana dikemukakan Wiwik Siswardi, perawat yang berjaga di kamar bersalin sejak tahun 1975, “…beda sekali dibandingkan dokter-dokter sekarang. Beliau baik, pengabdiannya besar, kepedulian sosialnya besar. Orang-orang miskin berani datang berobat karena tidak diharuskan membayar. Pasien yang tak mampu tetap diberi resep, disuruh ke apotek, obatnya dibayar Dr Oen.…” Semangat pengabdian semacam ini yang sewajarnya terus dijadikan teladan oleh setiap orang yang sudah memilih jalan sebagai pelayan kesehatan.
Comments