Saya mencuri dengar, seorang ibu yang mengirim anaknya kuliah ke luar negeri berpesan kepada si anak, ”Enggak usah pusing harus pulang. Cari kerja saja di sana, bahkan tinggal di sana. Di sini belum tentu ilmumu kepakai, belum tentu dihargai.”
—
KITA sudah sering mendengar kisah semacam ini, tanpa perlu menunjuk satu per satu kasus. Kita mungkin akan semakin sering kehilangan anak-anak semacam itu. Kalaupun ada yang kembali, kekhawatiran si ibu mungkin betul akan terjadi: ilmunya tak terpakai dan si anak banting setir mengerjakan apa saja demi mengisi perut.
Di warung kopi, sekelompok teman lama sedang ramai berbagi kisah setelah lama tak berjumpa. Mereka menceritakan repotnya memasukkan anak ke sekolah negeri. Repotnya berurusan dengan rumah sakit mempergunakan BPJS. Penat badan tiap hari melaju dari rumah ke tempat kerja, dua hingga tiga jam perjalanan pakai motor.
Satu kawan tak banyak bicara. Ia tersingkir dari perbincangan. Kenapa? Karena ia tak memiliki masalah-masalah itu. Anaknya sekolah swasta, kalau sakit langsung ditangani oleh asuransi. Kerja juga tak perlu repot membelah kemacetan tiap pagi, ia pemilik perusahaan dan segala urusan kerja selesai di depan laptop.
Jika ia memaksakan diri bicara pengalaman hidupnya sehari-hari, ia khawatir akan membuat jarak dengan kawan-kawan lamanya. Itulah kenapa ia memilih diam.
Warung kopi itu merupakan ruang bersama secara fisik. Tapi, obrolan di antara kawan-kawan yang lama tak berjumpa itu tak berhasil menciptakan ruang bersama. Ada satu orang, betapa beruntungnya pun ia dalam hidupnya, tak memperoleh tempat dalam obrolan.
Situasi bisa sama jika kawan lama yang kurang beruntung terjebak di antara kawan-kawan sukses yang berbusa-busa bicara investasi, teori, dan liburan. Ia kemungkinan akan memilih diam daripada bicara soal mencari belut di pematang sawah dan kawan-kawannya telah lupa pengalaman tersebut.
Di media sosial, sudah sering satu-dua teman membicarakan sebuah kasus dalam kerangka ilmu yang dikuasainya. Itu hal wajar mengingat mereka adalah kaum terdidik dan akademia. Pada saat yang sama, pembicaraan mereka dengan mudah diejek sebagai ”fafifu-wasweswos”, sebuah ungkapan bahwa omongannya terlalu ”ndakik-ndakik” alias terbang tinggi hingga ke langit.
Di sisi lain, jika ada penonton mengomentari sebuah film sebatas perasaannya, kadang memperoleh perundungan pula dari sinefil berpengalaman yang menganggap, bukan seperti itu menanggapi/mengkritik film.
Sangat lucu, akhirnya kita bertanya: memangnya tak boleh mengajukan pendapat dengan teori-teori tinggi di media sosial? Atau malah berpendapat secara polos sekadar mengikuti perasaan?
Tampaknya, bagi sebagian orang, tak boleh. Ruang bersama dibayangkan sebagai ruang di mana semua harus merasa nyaman, merasa tersambung. Jangan sok pintar sekaligus jangan bodoh. Masalahnya, memaksakan diri agar semua merasa nyaman, pada akhirnya, menciptakan rasa frustrasi berjamaah di semua kalangan, bukan?
Yang terjadi akan muncul mereka yang memilih diam agar tak dianggap sok pintar atau dianggap bodoh. Atau sekadar dianggap berbeda.
Jika Indonesia adalah warung kopi atau media sosial, ruang bersama secara bentuk, bagaimana kita juga bisa menjadikannya sebagai ruang bersama secara batin, di mana setiap orang merasa diperhatikan dan merasa dibutuhkan, tanpa ada yang terpaksa diam? Terpaksa pergi dan tak kembali atau mati tanpa dikenang?
Saya sering membayangkan Indonesia memiliki sekolah dan kampus khusus untuk anak-anak pintar, dengan pelajaran dan kurikulum serta fasilitas dua atau bahkan tiga kali lebih maju daripada sekolah umumnya. Bahkan mempersiapkan infrastruktur agar bakat mereka juga bisa dimanfaatkan maksimal.
Pada saat yang sama, adilkah memberi fasilitas premium kepada segelintir anak, sementara jutaan anak di pelosok-pelosok bahkan tak punya globe, tak pernah melihat mikroskop secara nyata, dan bahkan tak pernah memegang buku penyair terpenting Indonesia, Chairil Anwar?
Pada titik tertentu, kita terpaksa memilih salah satu. Membangun perpustakaan yang megah akan terlihat seperti cahaya terang literasi ketimbang membangun ratusan ribu kios taman bacaan di setiap permukiman. Memberi beasiswa murid-murid pintar, sementara banyak yang tak sekolah di perempatan jalan. Atau sebaliknya.
Yang ideal memang tempatnya di surga. Tapi, bayangkan jika kita punya ruang bersama di mana itu tempat kita boleh berlari. Jika ada anak yang bisa berlari kencang, yang lain tak akan menghalanginya. Bahkan menyemangatinya agar berlari sekencang mungkin.
Jika ada anak yang tak mampu berlari, yang lain tak memaksanya untuk bergerak cepat, tidak juga mengejeknya. Sekali lagi, yang begini lebih merupakan gambaran surga ketimbang dunia nyata.
Di dunia ini, yang kuat merasa frustrasi berada di tengah kelompok lemah, yang lemah juga frustrasi di hadapan kelompok yang kuat. Yang pintar frustrasi menghadapi yang bodoh, demikian sebaliknya. Ruang bersama memang selalu rapuh. Kita hanya berusaha agar ruang itu tak remuk-remuk amat. (*)
—
EKA KURNIAWAN, Penulis dan novelis, nomine The Man Booker International Prize 2016
Sumber : Jawa Pos 26 Juni 2022
Comments