Barangkali, tanpa HIK tak akan ada denyut dan degup Solo di malam hari. Dan HIK memang hanya ada di Solo. Sebuah lembaga khas Solo yang tiada duanya di dunia.
Pada dasarnya, HIK adalah penjual wedang (minuman panas) dan jajanan maupun pangannan yang cocok untuk mendampingi minuman panas itu. Di masa lalu, pedagang HIK (hampir semuanya laki-laki) memikul dagangannya menyusuri jalan-jalan sempit di kampung-kampung. Sebelah pikulan berisi tungku kayu dengan ceret air panas yang terus dijaga mendidih. Di pikulan lain penuh jajanan, seperti pisang goreng, pisang rebus, singkong dan ubi rebus, lentho (semacam perkedel dari kacang tholo), klemnyem (seperti misro di Tatar Sunda) dan banyak macam lainnya. Bagi yang perlu makanan lebih berat, tersedia nasi kucing - yaitu nasi sebungkus kecil dengan sedikit lauk sederhana biasanya secuil bandeng goreng, muhun goreng, dan sambel. Saking kecilnya maka disebut nasi kucing, seolah-olah untuk makannan kucing. Lauk pauk yang tersedia sebagai tambahan untuk mneyantap nasi kucing adalah sate kikil, sate usus, tempe dan tahu goreng.
Untuk menandai kehadirannya, pedagang berteriak keras-keras "Hiiiiik!" Bila kemudian orang-orang berdatangan, ia akan "memarkir" pikulannya di sudut yang aman. Dan orang-orang pun berkeliling menikmati minuman panas, ngemil makanan ringan, sambil ngobrol santai. Teriakan itulah yang kemudian diresmikan menjadi nama warung portable ini.
Sekarang penjaja HIK seperti itu sudah tidak ada lagi. MEreka tidak mau lagi memikul beban berat keluar masuk kampung. Mereka memilih lokasi yang menetap dan tiap malam menjajakan minuman panas dan jajanan dari tempat tetap itu. Para pedagang HIK biasanya muncul senja hari dan buka hingga sekitar pukul tiga dini hari. Beberapa penjual HIK tampaknya tidak pernah tutup.
Itulah sebabnya HIK bukan sekedar tempat berjualan minuman dan jajanan, melainkan sebuah lembaga rakyat yang mendenyutkan Solo setiap malam. Di sana kita bisa mendengar gosip yang paling baru. Di sana kita bisa berpartisipasi dalam debat politik dan sosial bersama pengemudi becak maupun para mahasiswa. Di sana kita juga bisa sekedar mat-matan mendengarkan pesinden diiringi sitar, ata jenis musik lain dari para pengamen yang singgah.
Anehnya, tidak ada orang yang tahu persis dari mana kata HIK itu. Beberapa tahun yang lalu, muncul inisitif untuk menyebut HIK sebagai kepanjangan Hidangan Istimewa Keluarga. Tapi, agaknya singkatan itu terlalu mengada-ada, sehingga akhirnya tenggelam begitu saja.
Uniknya, nomenklatur HIK hanya eksis di Solo. Di Jogja sekalipun fenomenanya hampir persis sama, warung sederhana minuman panas ini disebut angkringan. Barangkali ada ratusan penjaja HIK yang tersebar di seluruh Solo. Tiap kampung punya andalan HIK masing-masing. Karena sifatnya yang berbasis komunitas, tidak heran Rumah Blogggers Indonesia (RBI) di Solo juga "menyulap" dirinya di malam hari menjadi HIK, tempat para anggota dan simpatisan berkumpul.
Comments