Segala propaganda untuk mendelegitimasi hasil Pemilihan Umum 2019 perlu segera diakhiri. Tudingan tanpa bukti tentang kecurangan yang disampaikan berulang-ulang bisa menggerus kepercayaan publik atas hasil pemilu. Sikap yang tidak sportif, bahkan kotor, itu akan membahayakan demokrasi.
Propaganda tersebut dimulai dengan menyerang lembaga yang melakukan hitung cepat (quick count) hasil pemilu. Kubu pasangan calon presiden-wakil presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, menyerukan agar masyarakat tak mempercayai semua hasil hitung cepat yang mengunggulkan pasangan calon nomor urut 01, Joko Widodo-Ma'ruf Amin.
Seruan seperti itu jelas aneh sekaligus membodohi masyarakat. Di banyak negara, quick count justru merupakan alat kontrol hasil pemilu. Kubu oposisi atau penantang biasanya memakai hitung cepat untuk mengantisipasi kecurangan penghitungan suara oleh penyelenggara pemilu. Sebab, sepanjang memakai metode ilmiah yang benar, hasil hitung cepat telah terbukti 99 persen akurasinya.
Dalam pemilu serentak yang melibatkan 192,8 juta pemilih terdaftar, kecurangan dan pelanggaran sangat mungkin terjadi. Kecurangan tentu saja tak bisa dibenarkan. Tapi, jangankan dalam pemilihan presiden, dalam pemilihan ketua rukun tetangga saja praktik kotor bisa terjadi. Itu sebabnya ada mekanisme pencoblosan ulang untuk memperbaikinya. Komisi Pemilihan Umum pun telah menggelar pemungutan suara ulang di banyak daerah.
Jika kubu Prabowo-Sandi ingin menggugat hasil pemilu, semestinya mereka menyiapkan bukti yang valid. Perlu diingat bahwa hasil pemilu bisa dinilai tidak sah bila terjadi kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif. Tanpa upaya membuktikan hal ini, tuduhan adanya kecurangan serius dalam pemilu amat mengada-ada. Tudingan miring terhadap lembaga yang menggelar hitung cepat pun akan terkesan ngawur.
Sudah tepat langkah Perkumpulan Survei Opini Publik membeberkan metode yang digunakan anggota mereka dalam menggelar quick count dalam Pemilu 2019. Sebaliknya, pihak yang meributkan hasil hitung cepat seharusnya menguji metode yang dipaparkan itu. Kalau ada metode, data, atau teori tandingan, tinggal diadu. Biarkan orang ramai menilai klaim siapa yang lebih dipercaya.
Sikap kurang beradab diperlihatkan oleh orang-orang yang tak puas atas hasil hitung cepat. Di dunia maya, mereka malah merisak lembaga pengumpul data dan ahli pembela hitung cepat. Ini tak ubahnya serangan dengan metode "killing the messengers". Ketika substansi pesan tak bisa dibantah, yang dijatuhkan adalah kredibilitas penyampai pesan.
Kita perlu menyetop segala propaganda kotor yang akan membikin bingung masyarakat sekaligus bisa menghancurkan demokrasi itu. Para pembela hitung cepat sebaiknya menggunakan serangan kepada mereka sebagai momentum untuk menggelorakan lagi kampanye melawan kabar kibul. Media arus utama dan lembaga penyiaran publik pun harus bekerja lebih keras untuk menjernihkan ruang publik dari disinformasi.
Sumber : Koran Tempo 25 April 2018
Comments