Isu agama merebak pada Sidang Istimewa MPR dua pekan silam. Pasukan Pengamanan (Pam) Swakarsa yang terkenal dengan senjata bambu runcingnya itu menggunakan simbol Islam dalam "perjuangannya" melawan mahasiswa yang tak setuju dan berniat menggagalkan jalannya sidang. Mereka bahkan rela berjihad. Fenomena ini lantas mencuatkan kesan, seolah-olah muncul adanya musuh Islam. "Padahal tidak begitu. Mahasiswa juga banyak yang Islam," kata Deliar Noer. Kepada Ardi Bramantyo dari TEMPO, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Umat Islam itu mengurai motif politik di balik kemasan agama yang digunakan untuk menjegal laju mahasiswa. Petikannya:
Apakah Kongres Umat Islam di Pondokgede sarat dengan muatan politis?
Sepertinya begitu. Salah satu deklarasinya mendukung sidang istimewa. Mereka terlalu melihat, kalau Habibie turun, umat Islam rugi besar. Padahal, apa yang telah dilakukan Habibie untuk umat Islam?
Jadi, ada indikasi, Habibie menggunakan Islam sebagai penyelamatnya?
Bukan Islamnya. Tapi Habibie mencari dukungan dengan merangkul kalangan Islam. Yang tak sependapat dengan Habibie lantas dituduh makar.
Siapa lagi yang menggunakan isu agama untuk kepentingan politik?
Ada kelompok Hartono Mardjono, Ahmad Soemargono, Abdul Qadir Jaelani, dan sebagian dari kalangan Partai Bulan Bintang. Termasuk Majelis Ulama Indonesia. Ulama harus independen. Yang dibela bukan kelompok tertentu, tapi kebenaran. Ini memang sangat disayangkan.
Kenapa?
Kelompok Barisan Nasional tidak berjuang atas dasar Islam, tapi orang Islamnya juga banyak. Mahasiswa juga begitu. Mereka sampai sembahyang di jalan-jalan. Wanitanya yang berjilbab pun tak sedikit. Jadi, isu politik yang diluncurkan bahwa ada pertentangan antara Islam dan yang anti-Islam itu tidak relevan dan dibuat-buat. Intinya, mereka mau bilang, "Ini dadaku, mana dadamu! Kedudukan harus di tangan kami, kalangan Islam.
Bagaimana soal Pam Swakarsa?
Keterlaluan. Mereka memakai bambu runcing dan ikat kepala bertuliskan syahadat. Wah, umat Islam mau dibawa ke mana kalau caranya begini?
Sumber : Tempo 24 November 1998
Comments