Artikel ini dikutip dari Majalah Mingguan Hidup No 37, 12 September 2010. Terus terang saya bingung harus menuliskan apa sebagai pengantar Anda membaca artikel ini. Satu hal yang perlu Anda diketahui bahwa artikel ini terbit sebelum kejadian di Ciketing terjadi. Satu peristiwa yang akhirnya membuka mata kita semua akan realitas yang ada di negara yang hingga saat ini membanggakan kebhinnekaan dan ke-Tuhanan. Salam.
Angka statistik manapun mudah untuk menunjuk bahwa dalam himpunan beberapa bulan terakhir ini gangguan, serangan, pembatalan ijin terhadap sejumlah rumah ibadat kelompok Kristen dan Katolik di wilayah Jabotabek meningkat dengan pesat. Tentu kita tidak gembira dengan angka statistik ini. Justru sebaliknya, kita makin prihatin bahwa kewajiban untuk melaksanakan Sila Pertama dari Pancasila "KeTuhanan Yang Maha Esa", mendapat tentangan justru dari mereka-mereka yang sehurusnya juga mengamalkan sila yang sama.
Mungkin saja banyak pihak tak lagi merasa terikat dengan rumah bersama yang menaungi kita semua bernama "Pancasila". Banyak dari mereka sedang membangun fondasi lain untuk rumah lain di mana nantinya banyak dari kita akan hanya jadi penghuni pinggiran, atau bahkan mau disingkirkan.
Di sisi lain, kita pun tertegun dengan sikap yang ditunjukkan oleh walikota New York, Bloomberg, dan juga presiden Amerika Serikat, Barrack Obama, yang justru membela keinginan sejumlah kelompok Muslim yantuk mendirikan masjid di wilayah dekat dengan Ground Zero di New York. Ground Zero adalah kawasan di mana pada tahun 2001 pernah terjadi serangan bom terhadap gedung kembar, World Trade Center. Wilayah duka yang sempat menimbulkan ribuan orang jadi korban, kini ingin dikenang dengan mendirikan rumah ibadat di sana.
Baik Bloomberg dan Obama sama-sama memiliki prinsip bahwa mereka harus memfasilitasi adanya rumah ibadah bagi kelompok Muslim, agar kelompok Muslim moderat lebih mendapat tempat ketimbang kelompok yang cenderung radikal. Bagaimana pun, kecurigaan atau ketidaktahuan masyarakat Amerika secara umum terhadap fenomena Islam di Amerika dan di dunia - apalagi di Indonesia - harus direspon dengan justru makin memperkenalkan diri dan berkomunikasi dengan kelompok-kelompok lain tersebut.
Saya - saya tak bisa mewakili siapa-siapa lebih baik daripada diri sendiri saja - paling tidak senang dengan sikap dua pemimpin Amerika yang visioner ini. Lepas dari kecaman pelbagai pihak, kedua pemimpin ini berani mengambil tindakan tidak populer untuk membela hak kaum minoritas, dan mempromosikan terus adanya dialog antar kelompok yang ada dalam masyarakat.
Sayangnya, saya jadi malu kalau melihat pemimpin sendiri di Indonesia. Apakah itu namanya walikota, gubernur, menteri, aparat keamanan, bahkan hingga presiden sekalipun. Betapa tidak. Dengan makin seringnya gangguan pada saat kelompok Kristen dan Katolik sedang beribadah, banyak pihak kura-kura dalam perahu. Pura-pura tidak tahu. Mungkin mereka memang sejenis kura-kura, yang ketika ada masalah, cenderung membenamkan kepalanya dalam rumahnya. Dengan (pura-pura) tidak melihat, maka tidak ada masalah di depan mata.
Luar biasa. Sebuah negeri yang menaruh unsur religiusitas dalam ideologi negaranya dalam urutan paling atas, justru diam dan tidak berbuat apa-apa ketika pengamalan ideologi itu dilakukan. Luar biasa.
Luar biasa pula aparat keamanan yang justru mengamankan para korban, ketimbang bertindak untuk mencagah kekerasan demi kekerasan terus berjalan. Aparat keamanan yang menyandang tugas polisionil secara resmi takut dengan massa yang berteriak, massa yang bergerombolan dan mengancam pihak lain.
Luar biasa ada sebuah kelompok masyarakat yang bisa (merasa) kebal hukum, tidak dipersoalkan atas penyerangan yang dilakukan. Luar biasa aparat keamanan takut dengan warganya yang harusnya ia atur demi ketertiban sosial, dan suatu peradaban berbangsa. Jadi, siapa yang tidak beradab sesungguhnya?
Luar biasa ketika sebuah kudeta merayap (creeping Coup d'etat) tengah berlangsung, dan banyak pihak cenderung diam, atau berpura-pura kaget ketika rumah bersama bernama Pancasila mau diganti dengan ideolagi lain. Banyak aturan hukum dilencengkan, persoalan hakiki kebangsaan diganti dengan bahasan persoalan-persoalan moralitas semata.
Luar biasa ketika dalam kudeta yang sama, posisi perempuan mau dicoba makin dilemahkan. Perempuan didomestifikasi, perempuan tidak boleh tampil jadi pemimpin, dan tubuh serta pemikiran perempuan harus diatur sedemikian rupa untuk meneguhkan partiarki yang ada.
Luar biasa luar biasa luar biasa ...
Jika saja para founding fathers kita masih hidup, Sukarno, Hatta, Tan Malaka, Sjahrir, hingga Mohammad Roem, mungkin mereka akan marah-marah dengan para pemimpin bangsa ini sekarang. Para founding fathers ini mendirikan republik ini dengan penuh keringat dan darah. Namun ketika mereka melihat bahwa para pemimpin bangsa hari ini tak lagi menunjukkan kualitasnya sebagai pemimpin bangsa, maka layakkah mereka kita sejajarkan dengan para pendiri republik ini? Luar Biasa, luar biasa ...
Ignatius Haryanto
Angka statistik manapun mudah untuk menunjuk bahwa dalam himpunan beberapa bulan terakhir ini gangguan, serangan, pembatalan ijin terhadap sejumlah rumah ibadat kelompok Kristen dan Katolik di wilayah Jabotabek meningkat dengan pesat. Tentu kita tidak gembira dengan angka statistik ini. Justru sebaliknya, kita makin prihatin bahwa kewajiban untuk melaksanakan Sila Pertama dari Pancasila "KeTuhanan Yang Maha Esa", mendapat tentangan justru dari mereka-mereka yang sehurusnya juga mengamalkan sila yang sama.
Mungkin saja banyak pihak tak lagi merasa terikat dengan rumah bersama yang menaungi kita semua bernama "Pancasila". Banyak dari mereka sedang membangun fondasi lain untuk rumah lain di mana nantinya banyak dari kita akan hanya jadi penghuni pinggiran, atau bahkan mau disingkirkan.
Di sisi lain, kita pun tertegun dengan sikap yang ditunjukkan oleh walikota New York, Bloomberg, dan juga presiden Amerika Serikat, Barrack Obama, yang justru membela keinginan sejumlah kelompok Muslim yantuk mendirikan masjid di wilayah dekat dengan Ground Zero di New York. Ground Zero adalah kawasan di mana pada tahun 2001 pernah terjadi serangan bom terhadap gedung kembar, World Trade Center. Wilayah duka yang sempat menimbulkan ribuan orang jadi korban, kini ingin dikenang dengan mendirikan rumah ibadat di sana.
Baik Bloomberg dan Obama sama-sama memiliki prinsip bahwa mereka harus memfasilitasi adanya rumah ibadah bagi kelompok Muslim, agar kelompok Muslim moderat lebih mendapat tempat ketimbang kelompok yang cenderung radikal. Bagaimana pun, kecurigaan atau ketidaktahuan masyarakat Amerika secara umum terhadap fenomena Islam di Amerika dan di dunia - apalagi di Indonesia - harus direspon dengan justru makin memperkenalkan diri dan berkomunikasi dengan kelompok-kelompok lain tersebut.
Saya - saya tak bisa mewakili siapa-siapa lebih baik daripada diri sendiri saja - paling tidak senang dengan sikap dua pemimpin Amerika yang visioner ini. Lepas dari kecaman pelbagai pihak, kedua pemimpin ini berani mengambil tindakan tidak populer untuk membela hak kaum minoritas, dan mempromosikan terus adanya dialog antar kelompok yang ada dalam masyarakat.
Sayangnya, saya jadi malu kalau melihat pemimpin sendiri di Indonesia. Apakah itu namanya walikota, gubernur, menteri, aparat keamanan, bahkan hingga presiden sekalipun. Betapa tidak. Dengan makin seringnya gangguan pada saat kelompok Kristen dan Katolik sedang beribadah, banyak pihak kura-kura dalam perahu. Pura-pura tidak tahu. Mungkin mereka memang sejenis kura-kura, yang ketika ada masalah, cenderung membenamkan kepalanya dalam rumahnya. Dengan (pura-pura) tidak melihat, maka tidak ada masalah di depan mata.
Luar biasa. Sebuah negeri yang menaruh unsur religiusitas dalam ideologi negaranya dalam urutan paling atas, justru diam dan tidak berbuat apa-apa ketika pengamalan ideologi itu dilakukan. Luar biasa.
Luar biasa pula aparat keamanan yang justru mengamankan para korban, ketimbang bertindak untuk mencagah kekerasan demi kekerasan terus berjalan. Aparat keamanan yang menyandang tugas polisionil secara resmi takut dengan massa yang berteriak, massa yang bergerombolan dan mengancam pihak lain.
Luar biasa ada sebuah kelompok masyarakat yang bisa (merasa) kebal hukum, tidak dipersoalkan atas penyerangan yang dilakukan. Luar biasa aparat keamanan takut dengan warganya yang harusnya ia atur demi ketertiban sosial, dan suatu peradaban berbangsa. Jadi, siapa yang tidak beradab sesungguhnya?
Luar biasa ketika sebuah kudeta merayap (creeping Coup d'etat) tengah berlangsung, dan banyak pihak cenderung diam, atau berpura-pura kaget ketika rumah bersama bernama Pancasila mau diganti dengan ideolagi lain. Banyak aturan hukum dilencengkan, persoalan hakiki kebangsaan diganti dengan bahasan persoalan-persoalan moralitas semata.
Luar biasa ketika dalam kudeta yang sama, posisi perempuan mau dicoba makin dilemahkan. Perempuan didomestifikasi, perempuan tidak boleh tampil jadi pemimpin, dan tubuh serta pemikiran perempuan harus diatur sedemikian rupa untuk meneguhkan partiarki yang ada.
Luar biasa luar biasa luar biasa ...
Jika saja para founding fathers kita masih hidup, Sukarno, Hatta, Tan Malaka, Sjahrir, hingga Mohammad Roem, mungkin mereka akan marah-marah dengan para pemimpin bangsa ini sekarang. Para founding fathers ini mendirikan republik ini dengan penuh keringat dan darah. Namun ketika mereka melihat bahwa para pemimpin bangsa hari ini tak lagi menunjukkan kualitasnya sebagai pemimpin bangsa, maka layakkah mereka kita sejajarkan dengan para pendiri republik ini? Luar Biasa, luar biasa ...
Ignatius Haryanto
Comments