Banyak orang mengagungkan demokrasi sebagai yang terbaik dalam suatu sistem pemerintahan. Banyak orang berteriak bahwa semua yang dilakukannya benar selama sesuai dengan prinsip demokrasi. Pernahkah kita sadar bahwa penerapan dan pemahaman demokrasi yang salah bisa berakibat fatal?
Artikel yang dikutip dari Majalah Hidup no 50 Tahun ke-63, 13 Desember 2009 ini, bertutur mengenai penerapan paham demokrasi dalam kehidupan beragama di Swiss. Masalah yang sama juga sempat menjadi kerikil dalam kehidupan beragama bangsa kita. Untuk hal ini, kita bisa mengambil banyak contoh, mulai dari konflik keagamaan hingga usulan penetapan peraturan pemerintah berdasar agama tertentu di berbagai daerah. Hal yang semakin membuat parah adalah sering kali kita tidak sadar bahwa kita mempunyai standar ganda dalam menyikapi hal ini.
Sebelum anda bertanya pendapat saya mengenai hal ini, bisa anda buka artikel sebelumnya di sini. Akhir kata, semoga artikel ini bisa membuka mata kita bagaimana berdemokrasi yang baik dan santun terutama di dalam ranah keagamaan.
"Menara itu adalah simbol politik fundamentalis dan simbol Islamisasi. Menara itu mesti ditolak!" Begitu teriak Ulrich Schluer, inisiator referendum dari partai politik sayap kanan Scheizerische Volkspartei atau Partai Rakyat Swiss. Maka, pada hari itu sekitar 2,67 juta rakyat Swiss dari sekitar empat negara bagian mencoblos dalam sebuah referendum untuk menentukan, apakah menara masjid itu boleh didirikan atau tidak. Hasilnya, 57,5 persen setuju dengan pelarangan menara masjid dan mengalahkan 42,5 persen yang menolak pelarangan.
Berdasarkan referendum itu, Pemerintah Swiss akhirnya menerbitkan kebijakan untuk melarang pendirian menara. Akibatnya, warga beradab di seluruh dunia bereaksi. Mereka mengecam dan mempertanyakan komitmen Swiss terhadap nilai-nilai toleransi dan netralitas yang identik dengan Swiss selama ini.
Di luar kasus pelarangan menara masjid ini, di Swiss terdapat sekitar 400.000 warga Muslim atau setara dengan empat persen dari seluruh warga. Kebanyakan mereka adalah imigran Turki dan Serbia. Di Swiss terdapat sekitar 150 masjid, tetapi hanya ada empat masjid dengan menara. Referendum ini adalah referendum atas menara kelima. Pemerintah Swiss sendiri menegaskan bahwa berdasar referendum itu, yang tidak diijinkan hanyalah menara kelima itu, menara-menara sebelumnya tetap diizinkan berdiri.
Fanatik dan ultra-nasionalis semacam Schluer memang sedang naik daun dalam politik Swiss. Partai Rakyat Swiss yang mereka dukung saat ini adalah partai terbesar di parlemen. Angin politik di sekitar Eropa sendiri pada saat ini memang bukanlah angin yang cukup sejuk bagi toleransi. Setelah meluasnya gempuran sayap kanan terhadap para imigran di Prancis, insiden "kartun Nabi" di Denmark, dan pelecehan terhadap kaum muslim di Belanda dalam film "Fitna", pelarangan terhadap menara kelima ini merupakan serial yang menandai rontoknya toleransi.
Yang unik sekaligus penting dari pengalaman rontoknya toleransi ini adalah kenyataan bahwa toleransi dipinggirkan di dalam dan melalui demokrasi (referendum). Klaim kemenangan politik kaum kanan itu dibasiskan pada fakta bahwa ternyata mayoritas (57,5 persen) populasi mendukung.
Di titik inilah kita menemukan inti dari persoalan - yang dalam pengalaman di Indonesia juga sedang menjadi masalah besar - yakni fakta bahwa demokrasi tidak serta merta bisa melindungi toleransi dan melindungi dirinya sendiri. Swiss sebagai mana Indonesia dan banyak negara beradab lainnya adalah negara yang konstitusinya berdasarkan pada hak-hak asasi manusia (HAM).
Dengan demikian, perlindungan terhadap hak dan aspirasi serta kebudayaan dan agama minoritas dilindungi dalam Konstitusi Federal Swiss dan Kovenan HAM Eropa. Konstitusi Swiss sendiri secara tegas menyatakan prinsip netralitas, imparsialitas, dan toleransi, terutama pasal 15 yang melindungi kebebasan menjalankan ibadah dan pasal 8 ayat 2 yang menentang diskriminasi. Akan tetapi, politik dan kehendak mayoritas yang diakomodasi di dalam demokrasi dan prosedurnya telah menihilkan nilai-nilai dalam konstitusi itu.
Akibatnya, Swiss harus membayar harga yang sangat mahal. Setelah referendum itu, citra Swiss sebagai negeri yang dikenal sebagai negeri toleran hancur berantakan. Reputasi Swiss kini tak ubahnya seperti Belanda yang sudah dianggap gagal melindungi toleransi dan nilai-nilai hak asasi manusia. Republik Swiss, republik yang pernah diidolakan tokoh besar Rousseau adalah republik yang mengarah pada kemerosotan. Swiss membawa dirinya ke dalam ketegangan akibat politik intoleransi.
Indonesia adalah demokrasi konstitusional yang menempatkan hak asasi manusia dan memancang Pancasila sebagai dasar negara. Demokrasi di Indonesia dalam beberapa kasus memang sempat salah arah : di beberapa daerah toleransi dikorbankan demi perda-perda bermasalah melalui demokrasi. Kita berkaca dari pengalaman Swiss : Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, konstitusionalisme, dan hak asasi mesti dilindungi bahkan dari prosedur demokrasi yang sering miskin substansi.
Robertus Robet
Artikel yang dikutip dari Majalah Hidup no 50 Tahun ke-63, 13 Desember 2009 ini, bertutur mengenai penerapan paham demokrasi dalam kehidupan beragama di Swiss. Masalah yang sama juga sempat menjadi kerikil dalam kehidupan beragama bangsa kita. Untuk hal ini, kita bisa mengambil banyak contoh, mulai dari konflik keagamaan hingga usulan penetapan peraturan pemerintah berdasar agama tertentu di berbagai daerah. Hal yang semakin membuat parah adalah sering kali kita tidak sadar bahwa kita mempunyai standar ganda dalam menyikapi hal ini.
Sebelum anda bertanya pendapat saya mengenai hal ini, bisa anda buka artikel sebelumnya di sini. Akhir kata, semoga artikel ini bisa membuka mata kita bagaimana berdemokrasi yang baik dan santun terutama di dalam ranah keagamaan.
"Menara itu adalah simbol politik fundamentalis dan simbol Islamisasi. Menara itu mesti ditolak!" Begitu teriak Ulrich Schluer, inisiator referendum dari partai politik sayap kanan Scheizerische Volkspartei atau Partai Rakyat Swiss. Maka, pada hari itu sekitar 2,67 juta rakyat Swiss dari sekitar empat negara bagian mencoblos dalam sebuah referendum untuk menentukan, apakah menara masjid itu boleh didirikan atau tidak. Hasilnya, 57,5 persen setuju dengan pelarangan menara masjid dan mengalahkan 42,5 persen yang menolak pelarangan.
Berdasarkan referendum itu, Pemerintah Swiss akhirnya menerbitkan kebijakan untuk melarang pendirian menara. Akibatnya, warga beradab di seluruh dunia bereaksi. Mereka mengecam dan mempertanyakan komitmen Swiss terhadap nilai-nilai toleransi dan netralitas yang identik dengan Swiss selama ini.
Di luar kasus pelarangan menara masjid ini, di Swiss terdapat sekitar 400.000 warga Muslim atau setara dengan empat persen dari seluruh warga. Kebanyakan mereka adalah imigran Turki dan Serbia. Di Swiss terdapat sekitar 150 masjid, tetapi hanya ada empat masjid dengan menara. Referendum ini adalah referendum atas menara kelima. Pemerintah Swiss sendiri menegaskan bahwa berdasar referendum itu, yang tidak diijinkan hanyalah menara kelima itu, menara-menara sebelumnya tetap diizinkan berdiri.
Fanatik dan ultra-nasionalis semacam Schluer memang sedang naik daun dalam politik Swiss. Partai Rakyat Swiss yang mereka dukung saat ini adalah partai terbesar di parlemen. Angin politik di sekitar Eropa sendiri pada saat ini memang bukanlah angin yang cukup sejuk bagi toleransi. Setelah meluasnya gempuran sayap kanan terhadap para imigran di Prancis, insiden "kartun Nabi" di Denmark, dan pelecehan terhadap kaum muslim di Belanda dalam film "Fitna", pelarangan terhadap menara kelima ini merupakan serial yang menandai rontoknya toleransi.
Yang unik sekaligus penting dari pengalaman rontoknya toleransi ini adalah kenyataan bahwa toleransi dipinggirkan di dalam dan melalui demokrasi (referendum). Klaim kemenangan politik kaum kanan itu dibasiskan pada fakta bahwa ternyata mayoritas (57,5 persen) populasi mendukung.
Di titik inilah kita menemukan inti dari persoalan - yang dalam pengalaman di Indonesia juga sedang menjadi masalah besar - yakni fakta bahwa demokrasi tidak serta merta bisa melindungi toleransi dan melindungi dirinya sendiri. Swiss sebagai mana Indonesia dan banyak negara beradab lainnya adalah negara yang konstitusinya berdasarkan pada hak-hak asasi manusia (HAM).
Dengan demikian, perlindungan terhadap hak dan aspirasi serta kebudayaan dan agama minoritas dilindungi dalam Konstitusi Federal Swiss dan Kovenan HAM Eropa. Konstitusi Swiss sendiri secara tegas menyatakan prinsip netralitas, imparsialitas, dan toleransi, terutama pasal 15 yang melindungi kebebasan menjalankan ibadah dan pasal 8 ayat 2 yang menentang diskriminasi. Akan tetapi, politik dan kehendak mayoritas yang diakomodasi di dalam demokrasi dan prosedurnya telah menihilkan nilai-nilai dalam konstitusi itu.
Akibatnya, Swiss harus membayar harga yang sangat mahal. Setelah referendum itu, citra Swiss sebagai negeri yang dikenal sebagai negeri toleran hancur berantakan. Reputasi Swiss kini tak ubahnya seperti Belanda yang sudah dianggap gagal melindungi toleransi dan nilai-nilai hak asasi manusia. Republik Swiss, republik yang pernah diidolakan tokoh besar Rousseau adalah republik yang mengarah pada kemerosotan. Swiss membawa dirinya ke dalam ketegangan akibat politik intoleransi.
Indonesia adalah demokrasi konstitusional yang menempatkan hak asasi manusia dan memancang Pancasila sebagai dasar negara. Demokrasi di Indonesia dalam beberapa kasus memang sempat salah arah : di beberapa daerah toleransi dikorbankan demi perda-perda bermasalah melalui demokrasi. Kita berkaca dari pengalaman Swiss : Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, konstitusionalisme, dan hak asasi mesti dilindungi bahkan dari prosedur demokrasi yang sering miskin substansi.
Robertus Robet
Comments