Banyak dari kita beranggapan bahwa tahun baru adalah lahirnya suatu harapan baru. Apakah semua orang merasakan hal yang sama? Artikel yang diambil dari Kompas 31 Desember 2008 ini membuka mata saya tentang arti lain datangnya Tahun Baru. Selamat Tahun Baru 2009 ...
Oleh Harry Susilo
Bagi kebanyakan orang, pergantian tahun disambut dengan rasa sukacita dan penuh harapan. Meninggalkan kenangan yang telah usang dan menyandarkan mimpi-mimpi baru untuk memotivasi diri.
Tak heran, jika detik-detik menjelang kedatangan tahun baru dirayakan dengan berbagai kegiatan nan seru. Dari pesta kembang api, ingar bingar pergelaran musik, atau sekadar bercengkerama dengan teman-teman terdekat. Namun, bagi segelintir orang, bergantinya tahun hanya dimaknai sebagai bertambahnya waktu dan usia. Perpindahan masa yang memaksa mereka harus bertahan hidup agar tidak digilas pesatnya pembangunan.
Di tepi jalan Erlangga Barat, Kota Semarang, Selasa (30/12). Dengan sedikit gemetar, tangan keriput Albiyatun (70), memilah tumpukan sampah kertas di hadapannya. Sesekali, ia menyeka beberapa helai rambut putihnya yang kerap mengganggu pandangan. Bersama Siam (75), sang suami, hampir setiap hari Albiyatun menghabiskan sorenya untuk memilah sampah kertas dan plastik. Setelah dipisahkan, sampah itu pun mereka jual. "Biasanya mendapatkan Rp 20.000 untuk 2-3 hari," kata Albiyatun lirih.
Bagi mereka, pergantian tahun tak ubahnya seperti pergantian bulan, minggu, dan hari. Tidak ada bedanya, karena tidak ada yang berubah kecuali bergesernya waktu. Pasangan yang sudah bergelut dengan sampah selama lebih dari 30 tahun tersebut hanya segelintir kaum miskin urban yang tidak mengenal tiupan terompet perayaan datangnya tahun baru.
Mereka tidak berusaha mengikuti perkembangan zaman, namun mereka harus menyesuaikan diri tatkala menyangkut masalah perut. Terkait pergantian tahun, Albiyatun dan Siam pun bingung ketika mencoba mengungkapkan harapan mereka. "Mau berharap apa lagi, tidak pernah ada yang terkabul," katanya. Mereka hanya mencoba bertahan hidup. Hal itu juga yang mereka lakukan untuk melewati tahun-tahun sebelumnya. Yang penting bisa tetap makan dan berusaha untuk tidak sakit, kata perempuan asal Jepara ini.
Masrur (46), penjual nasi kucing-nasi dengan ukuran sekepal tangan-di Jalan Pandanaran, juga tidak menaruh banyak harapan pada pergantian tahun ini. Sudah lelah berharap terus. Asal tetap bisa berjualan, saya sudah senang, kata lelaki berpenghasilan rata-rata Rp 50.000 per hari ini, namun harus menanggung biaya hidup istri dan dua anaknya.
Tukiman (30), penjual air bersih di Kelurahan Pekunden, Semarang Tengah, mengaku tidak berani menaruh harapan khusus pada tahun mendatang kendati menginginkan taraf hidup yang lebih baik. "Kalau kondisi negaranya seperti ini terus, saya hanya berharap pekerjaan saya tetap lancar," kata lelaki berpenghasilan Rp 15.000-Rp 20.000 per hari ini.
Makin mahalnya biaya hidup dan sulitnya memperoleh bahan bakar rumah tangga memang dikeluhkan Tukiman. Namun, tidak terbersit baginya untuk mengungkapkan harapan tersebut. "Dari tahun ke tahun buktinya tetap sulit untuk cari uang," tuturnya.
Kondisi berbeda diutarakan Slamet (74), pengayuh becak yang ditemui di Jalan Gajah Mada, berangan-angan untuk bisa memiliki taraf hidup lebih baik di tahun mendatang. Kendati belum pernah tercapai, lelaki ini mencoba terus berharap dari tahun ke tahun. Semoga saja kebutuhan pokok bisa lebih murah untuk tahun depan, ujarnya sebelum mengayuhkan becaknya kembali menuju keramaian. Tentunya, harapan Slamet terbesar adalah para pembuat kebijakan bisa mendengarkan jeritan rakyat kecil yang terus didera kesulitan hidup.
Oleh Harry Susilo
Bagi kebanyakan orang, pergantian tahun disambut dengan rasa sukacita dan penuh harapan. Meninggalkan kenangan yang telah usang dan menyandarkan mimpi-mimpi baru untuk memotivasi diri.
Tak heran, jika detik-detik menjelang kedatangan tahun baru dirayakan dengan berbagai kegiatan nan seru. Dari pesta kembang api, ingar bingar pergelaran musik, atau sekadar bercengkerama dengan teman-teman terdekat. Namun, bagi segelintir orang, bergantinya tahun hanya dimaknai sebagai bertambahnya waktu dan usia. Perpindahan masa yang memaksa mereka harus bertahan hidup agar tidak digilas pesatnya pembangunan.
Di tepi jalan Erlangga Barat, Kota Semarang, Selasa (30/12). Dengan sedikit gemetar, tangan keriput Albiyatun (70), memilah tumpukan sampah kertas di hadapannya. Sesekali, ia menyeka beberapa helai rambut putihnya yang kerap mengganggu pandangan. Bersama Siam (75), sang suami, hampir setiap hari Albiyatun menghabiskan sorenya untuk memilah sampah kertas dan plastik. Setelah dipisahkan, sampah itu pun mereka jual. "Biasanya mendapatkan Rp 20.000 untuk 2-3 hari," kata Albiyatun lirih.
Bagi mereka, pergantian tahun tak ubahnya seperti pergantian bulan, minggu, dan hari. Tidak ada bedanya, karena tidak ada yang berubah kecuali bergesernya waktu. Pasangan yang sudah bergelut dengan sampah selama lebih dari 30 tahun tersebut hanya segelintir kaum miskin urban yang tidak mengenal tiupan terompet perayaan datangnya tahun baru.
Mereka tidak berusaha mengikuti perkembangan zaman, namun mereka harus menyesuaikan diri tatkala menyangkut masalah perut. Terkait pergantian tahun, Albiyatun dan Siam pun bingung ketika mencoba mengungkapkan harapan mereka. "Mau berharap apa lagi, tidak pernah ada yang terkabul," katanya. Mereka hanya mencoba bertahan hidup. Hal itu juga yang mereka lakukan untuk melewati tahun-tahun sebelumnya. Yang penting bisa tetap makan dan berusaha untuk tidak sakit, kata perempuan asal Jepara ini.
Masrur (46), penjual nasi kucing-nasi dengan ukuran sekepal tangan-di Jalan Pandanaran, juga tidak menaruh banyak harapan pada pergantian tahun ini. Sudah lelah berharap terus. Asal tetap bisa berjualan, saya sudah senang, kata lelaki berpenghasilan rata-rata Rp 50.000 per hari ini, namun harus menanggung biaya hidup istri dan dua anaknya.
Tukiman (30), penjual air bersih di Kelurahan Pekunden, Semarang Tengah, mengaku tidak berani menaruh harapan khusus pada tahun mendatang kendati menginginkan taraf hidup yang lebih baik. "Kalau kondisi negaranya seperti ini terus, saya hanya berharap pekerjaan saya tetap lancar," kata lelaki berpenghasilan Rp 15.000-Rp 20.000 per hari ini.
Makin mahalnya biaya hidup dan sulitnya memperoleh bahan bakar rumah tangga memang dikeluhkan Tukiman. Namun, tidak terbersit baginya untuk mengungkapkan harapan tersebut. "Dari tahun ke tahun buktinya tetap sulit untuk cari uang," tuturnya.
Kondisi berbeda diutarakan Slamet (74), pengayuh becak yang ditemui di Jalan Gajah Mada, berangan-angan untuk bisa memiliki taraf hidup lebih baik di tahun mendatang. Kendati belum pernah tercapai, lelaki ini mencoba terus berharap dari tahun ke tahun. Semoga saja kebutuhan pokok bisa lebih murah untuk tahun depan, ujarnya sebelum mengayuhkan becaknya kembali menuju keramaian. Tentunya, harapan Slamet terbesar adalah para pembuat kebijakan bisa mendengarkan jeritan rakyat kecil yang terus didera kesulitan hidup.
Comments