Saya mencuri dengar, seorang ibu yang mengirim anaknya kuliah ke luar negeri berpesan kepada si anak, ”Enggak usah pusing harus pulang. Cari kerja saja di sana, bahkan tinggal di sana. Di sini belum tentu ilmumu kepakai, belum tentu dihargai.” — KITA sudah sering mendengar kisah semacam ini, tanpa perlu menunjuk satu per satu kasus. Kita mungkin akan semakin sering kehilangan anak-anak semacam itu. Kalaupun ada yang kembali, kekhawatiran si ibu mungkin betul akan terjadi: ilmunya tak terpakai dan si anak banting setir mengerjakan apa saja demi mengisi perut. Di warung kopi, sekelompok teman lama sedang ramai berbagi kisah setelah lama tak berjumpa. Mereka menceritakan repotnya memasukkan anak ke sekolah negeri. Repotnya berurusan dengan rumah sakit mempergunakan BPJS. Penat badan tiap hari melaju dari rumah ke tempat kerja, dua hingga tiga jam perjalanan pakai motor. Satu kawan tak banyak bicara. Ia tersingkir dari perbincangan. Kenapa? Karena ia tak memiliki masalah-masalah itu. Anakn
Apakah menemukan koin-koin emas sementara kamu punya utang yang harus dibayar (dan berarti jaminan dibebaskan dari penjara karena urusan utang itu) lalu malahan mengembalikannya ke si pemilik merupakan perbuatan baik? — PERTANYAAN itu muncul di film A Hero karya sutradara kenamaan Iran, Asghar Farhadi. Dengan agak sinis, si rentenir yang memberinya utang memberi jawaban menusuk: Itu bukan perbuatan baik. Itu sesuatu yang harus dilakukan. Artinya, kewajiban dasar semata. Pertanyaan tersebut juga merembet ke pertanyaan-pertanyaan lain. Siapakah yang pantas disebut pahlawan? Apakah pahlawan adalah mereka yang melakukan perbuatan baik (untuk masyarakat atau seseorang)? Perbuatan baik macam apa? Jangan-jangan, apa yang disebut perbuatan baik itu sebetulnya kewajibannya belaka? Jangan-jangan, para pahlawan yang kita kenal itu sebetulnya ya mengerjakan tugasnya. Film itu, meskipun hanya berkisah tentang orang yang sedang memperoleh pembebasan sementara dari penjara beserta dilemanya, menyere